Luka Yang Belum Kering

Luka Yang Belum Kering

Waktu baca3 menit, 50 detik

Sewaktu SD, saya termasuk anak yang tidak betah diam di rumah. Ikut ekstrakuler marching band di sekolah, mengaji di musholla dekat rumah, dan yang paling banyak ya main, kelayapan. Wilayah jajahan saya cukup luas untuk ukuran anak perempuan. Tidak cukup berkelana di area blok tempat rumah keluarga kami berada, saya juga sering main ke blok sebelah yang masih satu kompleks perumahan, kampung di belakang kompleks, kompleks sebelah, dan kampung di belakang kompleks sebelah.

Awalnya, alat andalan saya untuk bertualang adalah sebuah sepeda mini. Saya bersepeda tak kenal waktu. Sering, saat siang bolong dan panas terik, saya dengan cueknya mengayuh sepeda dan pergi ke rumah teman di blok sebelah. Mama pun harus rela menerima kulit anak perempuan satu-satunya jadi gosong. Termasuk juga rela menerima telepon dari seorang temannya di blok sebelah yang melaporkan, “Bu, saya tadi lihat Eka naik sepeda lewat depan rumah saya. Nanti kulitnya hitam lho, naik sepeda siang-siang begini.”

Seiring dengan bertambahnya usia, juga berkembangnya tubuh, ada tuntutan untuk naik level dari sepeda mini ke sepeda orang dewasa. Padahal untuk naik sepeda orang dewasa, tinggi badan saya belum cukup sehingga saya harus mengayuh tanpa duduk di sadel. Tapi, ‘kan malu sama teman-teman lain kalau saya masih pakai sepeda mini.

Lalu, nekatlah saya belajar mengayuh sepeda milik Mama yang cukup tinggi. Proses dari mulai mengayuh hingga sepeda berjalan sih, tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah ketika harus berhenti. Tinggi tubuh yang belum cukup membuat saya ragu-ragu ketika memijak tanah. Belum lagi tubuh saya yang mungil belum terampil mengendalikan berat sepeda orang dewasa itu.

Setelah beberapa kali latihan, saya merasa cukup puas dengan skill bersepeda saya. Maka, ketika beberapa orang teman mengajak saya untuk jalan-jalan bareng, dengan pede-nya saya sanggupi ajakan itu. Sudah agak samar, ke mana tujuan kami hari itu. Yang saya ingat, saya tertinggal di belakang anak-anak lain. Lalu ketika akhirnya kami harus berhenti, entah karena panik karena tertinggal atau entah karena apa, saya kembali gagal mengendalikan sepeda.

Saya jatuh. Selangkangan saya terbentur palang sepeda dan kaki saya luka tergores oleh pedal dan jalanan yang masih berkerikil. Kaki saya sakit. Tapi saya tidak bisa pulang dengan membonceng teman karena kami masing-masing membawa satu sepeda. Jika saya pulang dengan membonceng, siapa yang akan membawa pulang sepeda saya? Saya pun mengayuh sepeda sambil menahan sakit dalam perjalanan pulang.

Sejak itu, saya hampir tak pernah lagi berani naik sepeda orang dewasa. Mau kembali ke sepeda mini pun, malu rasanya. Untungnya, tidak berapa lama, musim roller skate melanda. Saya pun beralih dari sepeda dengan rasa lega.

Beberapa tahun saya menggunakan roller skate, sebenarnya juga bukannya tanpa luka. Rasanya malah lebih banyak luka yang timbul karena roller skate daripada sepeda. Ya di lutut, ya di tangan, bahkan di bokong karena sewaktu awal belajar roller skate saya beberapa kali jatuh terjengkang ke belakang. Toh, hingga saat ini saya tak kapok main roller skate. Tapi, hari ketika saya harus pulang dengan mengayuh sepeda sambil menahan sakit itu ternyata meninggalkan luka yang cukup besar. Luka yang berada entah di mana, tapi sakitnya jelas masih terasa karena belum juga kering.

Luka jenis itu bertambah satu. Sudah hampir lima bulan, luka bekas operasi caesar saya kering. Tapi, rasa sakitnya masih terasa. Terkadang terasa secara fisik. Timbul rasa ngilu di jahitan yang saya tak pernah tahu karena apa. Seringnya terasa secara emosional. Bahkan menuliskan paragraf ini pun harus dilakukan dengan menahan air mata.

Saya operasi caesar? Ya. Karena apa? Ya karena melahirkan lah, masak karena sakit mata. Memang kapan hamilnya? Sejak Februari tahun ini. Terus mana anaknya? Meninggal. Kenapa? Kok bisa? Ah, itu masih sulit saya tuliskan detilnya.

Padahal sudah hampir lima bulan kejadian itu berlalu. Mengucapkan selamat kepada teman-teman yang baru melahirkan saja masih belum bisa saya lakukan dengan tulus. Saya bahkan tak mengucapkan selamat kepada tante saya sendiri.

Dari hari ke hari, gambar bayi yang dipajang oleh kontak BBM saya semakin bertambah. Hari ini pun bertambah satu lagi. Obrolan mengenai bayi pun mengalir terus di linimasa twitter. Ada seorang teman yang bayinya sudah bisa disusui dengan cup feeder hari ini. Sedang saya, masih saja bergumul dengan kesedihan yang entah kapan selesai.

Ikhlas itu mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Buru-buru punya bayi lagi dalam keadaan seperti ini juga tidak bisa menjamin seratus persen bisa menyembuhkan. Saya berusaha tetap bergerak sambil menunggu. Tetap bekerja, tetap menjadi istri. Saya mencari aktivitas baru, menggali kembali kuburan-kuburan mimpi saya. Lima bulan berlalu, tapi luka itu masih juga belum kering. Entah di mana jelasnya letak luka itu. Entah kapan pula keringnya.

Mungkin saya harus menunggu beberapa lama lagi. Menunggu luka itu kering sendiri. Atau menunggu roller skate pengganti.

One thought on “Luka Yang Belum Kering

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.