Saat menuliskan ini, saya baru saja tiba di rumah setelah setengah hari keliling Bandung. Awalnya hanya berencana potong rambut di salon dan beli oatmeal instan di supermarket. Eh, malah mampir ke rumah teman, pergi dengannya ke Sushi Tei untuk makan siang, tak sengaja bertemu teman lain di sana, dan ngobrol lama.
Sepulang dari makan siang, hujan turun. Beruntung saya bisa pinjam mobil Papa hari ini. Saya mengantarkan teman saya itu ke rumahnya di Jalan Patrakomala, lalu melanjutkan perjalanan ke arah pulang. Di Jalan Cendana, di tengah hujan yang semakin deras, tiba-tiba saya merasa belum ingin pulang. Saya merasa masih ingin menyetir sendirian, mengelilingi Bandung.
Menyetir selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan buat saya, cenderung therapeutic malah. Saat menyetir, saya biasanya mempercayakan refleks saya untuk menentukan kapan gas atau rem diinjak dan membiarkan suara hati mengambil alih, memilih rute yang diinginkannya. Lalu pikiran saya akan asyik sendiri, merenungkan dan mempertanyakan banyak hal.
Bandung sore ini menyediakan suasana yang tepat untuk melakukan semua itu. Maka, alih-alih berbelok kanan ke Jalan Brigjen Katamso, ke jalan menuju rumah, saya memilih mengarahkan mobil untukĀ lurus ke Jalan W.R. Supratman.
Jalanan cenderung sepi untuk ukuran akhir pekan. Saya melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam di atas jalanan yang basah. Tiga puluh kilometer per jam adalah kecepatan kendaraan ideal untuk menikmati jalanan Bandung. Di Jakarta, kecepatan ideal adalah 50 kilometer per jam. Kurang dari itu, pengemudi mobil di belakangmu akan mengklakson dan menyalip seakan-akan dia kebelet buang air. Di Bandung, kamu tak perlu terburu-buru. Kamu tak butuh terburu-buru.
Dari Jalan W.R. Supratman, saya berbelok ke Jalan Ciliwung, belok lagi ke Jalan Cilaki, kemudian sampai di Taman Cibeunying yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya pedagang sound system bekas untuk mobil. Tak jauh dari sana ada rumah sahabat Mama, di mana dulu saya sering menjemputnya untuk kemudian makan siang atau nonton di bioskop atau jalan-jalan di mal sepulang kuliah.
Bandung pada mulanya adalah kota milik Mama. Tapi, seperti halnya saya, Mama tak lahir Bandung. Lahir di Semarang, ia pindah ke Bandung saat usia empat tahun mengikuti perpindahan tugas ayahnya yang perwira TNI AD. Ia kemudian tumbuh dan bersekolah di Bandung. Sempat beberapa tahun tinggal di Pangkalan Bun, bertemu Papa dan menikah di sana, lalu kembali ke Bandung saat usia saya dua tahun. Tiga tahun kemudian pindah ke Bekasi, tapi kembali ke Bandung enam tahun kemudian. Sejak itu, sampai akhir hidupnya, ia tak pernah lagi meninggalkan Bandung.
Lewat kekeraskepalaannya untuk bertahan di Bandung itu, ia mewariskan kota ini kepada saya dan adik saya. Sejak kami kecil, ia mengenalkan tempat-tempat kesukaannya Bandung pada kami. Taman bacaan Hendra di dekat Pasar Cihapit yang sudah berdiri sejak ia masih sekolah. Rumah makan Ayam Bengawan Solo di Jalan Riau (sekarang Jalan R.E. Martadinata) yang pernah menjadi favorit ayahnya. Es campur di Jalan Puteri yang tak jauh dari SMA BPI, tempatnya bersekolah dulu. Dan Pasar Kosambi, tempatnya membeli berbagai macam hal dari cemilan, baju tidur, seragam sekolah kami, hingga gelang emas koleksinya.
Saya memutari Taman Cibeunying dan kembali menyusuri Jalan Cilaki, hingga sampai ke Jalan Citarum. Di sana ada SMA 20, sekolah adik saya dulu. Saya berbelok ke Jalan Cisanggarung kemudian ke Jalan Cimandiri, tepat di samping Gedung Sate. Di sana ada gedung laboratorium FEB Unpad dan Lembaga Manajemen FEB Unpad, tempat saya praktikum, mengerjakan skripsi, hingga sidang sarjana; semuanya sambil diselingi dengan jajan sop buah, sate sapi, dan nasi bakar.
Melewati tempat-tempat itu, saya menyadari bahwa Mama berhasil mewariskan Bandung hingga kami begitu mengenal setiap sudutnya, setiap ruas jalannya, setiap perubahan yang terjadi di dalamnya. Kami jadi begitu hapal dengan tabiat kota ini, perilaku orang-orangnya, bahkan berbicara dalam bahasanya. Banyak jejak kami sekeluarga yang tertinggal di kota ini, hingga tidak heran jika sepeninggal Mama, Papa akhirnya merencanakanĀ untuk pindah dari kota ini. āKe mana?ā tanya saya. āYang penting keluar dari Bandung,ā jawabnya.
Walau selepas lulus kuliah sudah tujuh tahun membangun hidup di luar Bandung dan merasa sudah kehilangan sifat-sifat ke-Bandung-an, saya tak pernah menyangka bahwa pada akhirnya saya akan benar-benar kehilangan Bandung. Selama ini Bandung selalu identik dengan pulang. Sejauh apa pun saya melangkahkan kaki, saya selalu berpikir bahwa saya akan tetap pulang. Saya punya kewajiban untuk sesekali pulang dan saya akan selalu punya alasan untuk pulang. Pulang ke Bandung, bukan ke tempat lain. Tapi nanti, saat Papa benar-benar keluar dari kota ini, pindah ke kota mana pun yang dia inginkan, saya akan kehilangan alasan untuk pulang ke Bandung.
Saya berbelok ke kanan, ke Jalan Diponegoro. Melewati Gedung Sate, Lapangan Gasibu, Yogurt Cisangkuy, Museum Geologi, lurus terus menuju ke rumah. Rumah yang sebentar lagi tak menjadi tujuan pulang.
Tiba-tiba, saya merasa sangat merindukan Bandung, sebagaimana saya sangat merindukan Mama.
Bandung juga teman saya saat SMA. Masih ingatkah?
EKAAAAAA, lagi blogroll karena kangen sama komunikasi searah macam ini. I want more!
Jangan lupa cek lapak saya sis..
Sedih ka..
Gw juga,sejak pindah dari bandung dan ga punya lagi rumah di bandung,ngerasa agak “kehilangan” bandung.
Tapi gw sampai saat ini selalu mengidentikkan bandung dengan kata “pulang” dan ga pgn kehilangan alasan buat “pulang” ke bandung..
Bandung…Bandung dan Bandung..tidak ada kata kata selain Kota yang penuh sejarah 25 tahun terakhir dalam hidupku. Banyak proses kehidupan yang telah kulalui suka,duka,bahagia,kecewa dan kejadian2 yang sangat menguras air mata dari tahun 1991 setelah lulus kuliah dari sebuah Perguruan Tinggi di Semarang 1990 ,Bekerja,Menikah dan Suami meninggalkan kami untuk selamanya menghadap sang Khalik, yang akhirnya bisa membuatku bisa survive dan tangguh sampai saat ini. Terima kasih Bandung, Engkau telah memberikan warna dalam hidupku…To Be continued Mbak Eka…salam Hangat & Sayang