Ai: Sebuah Catatan Tentang Duka

Ai: Sebuah Catatan Tentang Duka

Waktu baca11 menit, 24 detik

Yang selalu kuingat tentang Ai adalah senyumnya. Tak ada yang mengalahkan senyum ceria pada wajah berbingkai jilbab putih dan berhias andeng-andeng di pipi kiri itu. Tentang jilbab, ia pernah bercerita padaku, “Ai baru saja kok, pakai jilbab. Sewaktu SMP, Ai nggak pakai. Ada kok, fotonya.”

Ia selalu memanggil dirinya sendiri dengan “Ai”. Bukan “aku”, bukan “saya”, terkadang “gue”. Namun, seringnya “Ai”. Kepada siapa pun. Ia mencari-cari di dompetnya, kemudian mengeluarkan secarik foto seorang gadis dengan rambut tebal berkepang. Senyum yang sama, andeng-andeng yang sama.

“Sewaktu MOS,” masa orientasi siswa, ospek sekolah kami, “Ai juga belum pakai jilbab, Ka. Dulu Ai bandel, Ka. Sering dipanggil ke BP… hihihihi,” ujarnya kepadaku sambil tertawa kecil.

Aku ingat Ai bercerita sambil mematut diri di depan cermin, memasang jilbabnya. Aku tak benar-benar ingat di mana percakapan itu terjadi. Mungkin di kamarku, atau di kamarnya. Yang jelas, salah satu dari kami sedang berkunjung ke rumah yang lain sepulang sekolah. Kami cukup dekat. Kelas kami bersebelahan dan sepulang sekolah kami beraktivitas di klub ekstrakurikuler yang sama–sebuah klub kabaret, istilah orang Bandung untuk operet musikal ala Padhyangan Project. Tak jarang, jika tak ada kewajiban berekskul, aku, Ai, dan salah seorang teman kami di klub yang sama, Tineke, pergi ke Bandung Indah Plaza untuk sekadar jalan-jalan atau jajan crepes di food court.

“Lalu, kenapa kamu memutuskan untuk pakai jilbab?” tanyaku sambil mengembalikan fotonya semasa SMP.

“Nggak tahu. Pengen aja. Mama Ai seneng banget, Ka. Senang kali ya, lihat anaknya tobat… hahahaha,” Ia tertawa lepas sambil mengambil jarum pentul untuk menyemat jilbabnya.

“Ai, nggak takut kena tusuk jarum?” tanyaku, masih memperhatikan gerak-geriknya di depan cermin.

“Nggak tuh, Ka. Nggak pernah kena juga. Udah dilindungi Allah kali, ya…. hahahaha.”

Tawa Ai begitu menular. Ia begitu ringan dan optimistis menghadapi hidup. Terkadang berkeluh kesah tentang pelajaran atau gebetan, tapi tak sampai terbawa emosi.

Rumahnya tak jauh dari Pasar Cicadas. Keluarganya membuka usaha konfeksi rumahan, yang membuatnya belajar mengerjakan barang jahitan sederhana. Saat klub ekstrakurikuler kami membutuhkan tambahan uang kas, ia berinisiatif membuatkan sarung ponsel sederhana, yang kemudian kami jual ke teman-teman sekelas dan hasil penjualannya kami masukkan ke kas.

Karena merasa tak berbakat membuat properti untuk digunakan pentas, aku dan Ai lebih memilih bertugas menyiapkan kostum di klub. Ai lah yang lebih berbakat. Aku sebenarnya hanya mengikuti apa yang ia ajarkan.

Salah satu bagian yang tidak boleh lupa disiapkan sebagai peranti kostum adalah payudara palsu untuk dipakai oleh anggota klub yang berperan jadi perempuan. Ya, peran-peran perempuan saat itu lebih banyak dimainkan oleh laki-laki–salah satunya oleh seorang laki-laki yang belasan tahun kemudian menjadi suamiku. Biasanya, payudara palsu ini dibuat dari gumpalan kaus kaki bekas yang diisi dengan kaus kaki bekas lain hingga membentuk bola.

Ai punya cara lain. Ia mengambil kain perca sisa produksi dari rumahnya. Ia tumpuk potongan-potongan kecil kain di atas selembar kain yang lebih besar berbentuk lingkaran. Ia mengambil jarum dan benang yang agak tebal, kemudian membuat jahitan jelujur sederhana di sekeliling kain lingkaran itu. Setelah jahitan itu lengkap mengelilingi, ia menarik benang hingga kain mengerucut dan membentuk kantong. Jadilah payudara palsu ala Ai.

Kali lain, Ai ingin membuat pembatas buku dari kertas lipat berwarna merah jambu. Ia menuliskan namanya di sudut kertas yang dipotong jadi persegi panjang. “Ai Husniyah”.

“Eka,” katanya. “Kamu bisa nulis pakai huruf Jepang kan?”

“Bisa,” jawabku.

“Tulisin nama Ai pakai huruf Jepang dong, di sini,” ia menunjuk di sisi sebaliknya dari kertas pembatas buku itu.

“Hmmm… nama Ai kan pakai huruf  H. Di Jepang, nggak ada aksara ‘hu’. Biasanya kalau ‘hu’ diubah jadi ‘fu’,” ujarku sok tahu. “Jadinya A-i Fu-su-ni-ya. Nggak pa-pa?”

“Nggak pa-pa. Terserah Eka aja, Ai mah percaya sama Eka. Hihihihi….”

Aku masih menyimpan pembatas buku itu sampai hari ini. Entah bagaimana pembatas buku itu bisa berakhir padaku. Mungkin terselip di buku yang ia pinjam dariku.

***

Tukang parkir, yang juga menyambi sebagai penjual minuman botol, di SMA kami dulu di Bandung katanya bisa meramal. Entah kata siapa; kata orang lain atau kata dia sendiri. Meski tak jelas benar atau tidaknya, ada saja yang datang kepada Si Tukang Parkir dan menyodorkan telapak tangan mereka untuk diramal.

Salah satunya adalah Ai. Aku ingat benar, di suatu siang sepulang sekolah yang tak ada jadwal latihan ekskul, Ai dengan bersemangat mengajakku untuk diramal oleh Si Tukang Parkir.

“Emang,” panggilan dalam Bahasa Sunda yang berarti paman, “Ai mau diramal dong. Ai akan punya jodoh seperti apa nanti?” tanya Ai dengan mata berbinar.

Kami bertiga duduk di bawah pohon, di trotoar depan gerbang sekolah. Si Tukang Parkir memegang tangan Ai, mengusap-usap telapak tangannya, dan terlihat berpikir. Ia lalu menjawab, “Kalau yang Emang lihat dari garis tangan Ai, nanti Ai akan punya jodoh yang kulitnya putih, tinggi, ganteng lah pokoknya.”

Aku, yang waktu itu adalah gadis skeptis pembenci warna merah jambu dan aktivis anti-Hari Valentine, melengos mendengar jawaban itu. Sampai saat ini, aku belum bisa menetapkan sikapku terhadap ramalan. Aku masih mendasarkan sifat orang pada zodiak, masih iseng minta dibacakan ramalan tarot, tapi aku tak pernah menanggap ramalan tentang masa depan dengan serius. Apalagi ramalan yang terdengar begitu amatiran seperti “jodoh kamu ganteng, putih, tinggi.”

Namun, Ai terlihat begitu menikmati hasil ramalan Si Tukang Parkir, sehingga aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian dari sesi konsultasi jodoh itu dan kembali sibuk membaca komik. Tak berapa lama, Ai menepuk pahaku. “Eka,” ujarnya, “kamu diramal juga dong sama Emang.”

Ditembak begitu, aku bingung. Mau menolak, tak enak rasanya. Takut menyinggung perasaan Si Tukang Parkir. Mengiyakan pun, tak tahu mesti bertanya apa. Setelah jeda yang canggung, akhirnya aku mengiyakan dengan mengajukan satu-satunya pertanyaan yang terlintas di kepala saat itu, “Mang, ibu saya punya penyakit asma. Akhir-akhir ini penyakitnya sering kambuh. Apakah dia akan baik-baik saja?”

Penyakit asma Mama memang sedang sering-seringnya kambuh. Biasanya tengah malam, sehingga aku dan Papa harus membawanya ke rumah sakit karena obat inhaler sudah tak ampuh mengobati sesaknya. Di rumah sakit Mama akan ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat untuk diberi suntikan dan terapi uap menggunakan alat bernama nebulizer. Setelah satu atau dua jam mendapat perawatan di rumah sakit, ia akan membaik lalu kami akan pulang dan mengawali hari dengan mata mengantuk karena kurang tidur. Ini menjadi rutinitas keluarga kami setiap dua atau tiga bulan selama beberapa tahun, sebelum akhirnya mereda karena Papa mulai mempelajari teknik pengobatan prana yang kemudian diterapkan sebagai terapi alternatif untuk Mama.

Kembali ke sesi ramal siang itu, pertanyaanku memang tak lazim untuk dilontarkan seorang gadis remaja. Tapi tak ada hal lain yang lebih mencemaskan dalam hidupku saat itu selain kesehatan Mama. Lagipula, aku ingin menantang keahlian ramal Si Tukang Parkir. Jangan-jangan, ia hanya asal saja menjawab pertanyaan Ai tadi.

Si Tukang Parkir memeriksa garis di telapak tanganku, sama seperti yang dia lakukan pada tangan Ai sebelumnya. Akhirnya, ia menjawab, “Ibu kamu akan baik-baik saja. Tapi, memang kalau yang Emang lihat, umur ibu kamu pendek. Lebih pendek dari ayah kamu.”

Aku sudah tidak ingat lagi apa responsku atas pernyataan itu. Mungkin satu-satunya responsku atas ramalan itu adalah menguburkannya dalam-dalam pada sebuah tempat di belantara ingatanku, dan melupakan bahwa tempat itu ada. Ingatan itu akhirnya menyeruak dari kuburannya sendiri, dan menemukan jalan kembali ke alam sadarku, beberapa bulan setelah ibuku meninggal.

***

Di suatu siang yang panas terik, aku mendengar dari entah siapa, bahwa Ai pingsan saat mata pelajaran olah raga. Kalau aku tidak salah ingat, itu adalah kali kedua dalam waktu yang berdekatan. Saat jam istirahat, aku mampir ke ruang kelasnya, tapi teman-teman sekelasnya bilang Ai sudah keluar kelas. Ia sedang menunggu dijemput oleh kakaknya di depan gerbang sekolah.

Aku menghampiri Ai yang sedang berdiri di atas trotoar, ransel di punggungnya. Wajahnya pucat. “Kamu kenapa, Ai?” tanyaku.

Tidak biasanya ia selemah itu. Ai yang kutahu jarang sakit; setidaknya tidak sesering aku.

“Kecapean mungkin, Ka,” jawabnya lemah.

“Ya sudah, istirahat dulu. Jangan masuk sekolah dulu kalau belum sehat betul,” aku tak benar-benar ingat apa yang kukatakan selain itu.

Beberapa minggu kemudian, sekolah kami sudah disibukkan dengan persiapan bazaar dan pentas seni tahunan. Tak terkecuali klub kabaret kami. Kebetulan, aku tergabung di klub ekstrakurikuler lain–klub Bahasa Inggris. Klub ini juga sedang menyiapkan perlombaan Bahasa Inggris tingkat SMP, yang penyelenggaraannya hanya terselang beberapa minggu sebelum penyelenggaraan bazaar.

Tugasku di klub Bahasa Inggris untuk mencari sponsor dana penyelenggaraan sekaligus koordinator salah satu lomba membuatku sering absen saat latihan kabaret. Ada yang pernah bilang kepadaku, bahwa pada suatu kali saat latihan, Ai bertanya kepadanya, “Eka mana?”

Ia menjawab, “Lagi sibuk dengan lomba english club.”

Lalu, ia menyampaikan apa yang Ai katakan kepadanya, “Oh, ya sudah. Biarin dulu aja, jangan diganggu.”

Hari ketika Ai menanyakanku, kalau aku tidak salah ingat, adalah hari terakhir yang menjadi puncak acara lomba Bahasa Inggris. Hari itu, tahap final dari lomba-lomba yang dilaksanakan, sekaligus juga seremoni pemberian hadiah kepada pemenang. Di saat yang sama, teman-temanku dari klub kabaret sedang mengadakan latihan sebagai pengisi acara bazaar dan pentas seni di sisi lain gedung sekolah kami. Aku tak mampir ke latihan hari itu.

Yang kudengar setelahnya, hanyalah: Ai masuk rumah sakit. Pingsan di angkot dalam perjalanan pulang dari latihan kabaret.

Mendengar kabar itu, sepulang sekolah, aku dan beberapa teman langsung menuju rumah sakit di mana Ai dirawat. Aku tidak tahu benar Ai sakit apa. Yang pasti, ketika masuk ke ruang perawatan, aku benar-benar tak menyangka akan menemukan Ai dalam kondisi tak sadarkan diri. Tubuhnya tergolek di atas tempat tidur, terhubung dengan selang oksigen dan berbagai perangkat medis yang tak kukenal. Kulit wajahnya yang biasanya cerah, kini kusam. Ai koma, tak sampai satu minggu sebelum bazaar dilaksanakan.

Ternyata, sore itu Ai izin pulang lebih awal dari latihan. Ia pusing, katanya. Ia kemudian pulang sendiri menggunakan angkot, seperti biasa. Namun, kali ini, ia tidak berhenti di depan jalan menuju rumahnya. Ia jatuh pingsan, tak sadarkan diri di dalam angkot, terbawa hingga ke pemberhentian terakhir. Si supir yang mendapatinya tak kunjung turun berusaha membangunkannya. Tapi, Ai tidak bangun. Aku tak tahu benar bagaimana si supir bisa mengetahui rumah Ai. Yang pasti, si supir berhasil mengantarkan Ai ke rumahnya.

Salah satu anggota keluarga Ai bilang, dulu kepala Ai pernah terbentur karena kecelakaan. Tapi, setelah itu tidak ada keluhan yang berkelanjutan. Kabar burung akan diagnosis penyakit Ai berseliweran. Salah satu yang kudengar adalah meningitis. Aku tak terlalu ingin tahu. Yang ingin kuketahui cuma satu: kapan Ai bisa sadar kembali?

Klub kabaret kami berusaha melanjutkan persiapan pentas tanpa Ai. Sedikit-banyak, mungkin suasana hati kami terpengaruhi. Semakin mendekati hari pementasan, semakin sering kami bertengkar. Kostum yang salah, cerita yang berganti, pemain yang bertambah.

Pentas kami pun gagal. Malam itu, seusai pentas, kami menjalani sidang evaluasi yang dilakukan kakak-kakak angkatan dan para alumni dengan emosional. Dalam keadaan emosi terkuras habis, beberapa dari kami pergi menengok Ai yang belum juga sadar di rumah sakit malam itu. Tentu, jam besuk sudah terlewati. Kami pun berakhir di lantai lorong rumah sakit, tak bisa masuk ke ruang rawat.

Malam bazaar yang emosional itu terlewati. Kami kembali menjalani kegiatan belajar di sekolah. Ada yang bilang, kondisi Ai lebih baik. Ada juga yang bilang, masih sama saja. Salah satu kakak angkatan kami di klub kabaret bilang padaku, “Aku belum sempat nengok Ai. Kapan kamu mau ke sana Ka? Aku ikut.”

“Yuk,” jawabku. “Lusa ya. Besok kan libur.”

Klise memang, menyebutkan bahwa manusia itu begitu angkuh, membuat rencana seakan lupa bahwa ia tidak punya kendali penuh dalam hidupnya. Namun, begitulah manusia. Lupa bahwa ia sebenarnya tak punya kuasa menciptakan masa depan. Lupa bahwa hidup sebenarnya tak perlu rencana, hanya perlu dijalani saja. Lupa bahwa waktu bisa berhenti kapan saja. Dan kalaupun pernah ingat, lalu kembali lupa dan mengulangi hal yang sama.

Esok sorenya, ponselku berdering. Aku ingat betul, aku sedang berada di tempat parkir Bandung Indah Plaza; baru saja tiba untuk menonton film dengan pacarku saat itu. Nama Ai muncul di layar ponselku. Aku tertegun sebentar. Aku tahu bukan Ai yang meneleponku. Tapi, siapa?

“Halo,” aku menerima telepon itu.

“Ini Eka, ya?” itu kakak laki-laki Ai.

Aku mengiyakan. Lalu ia membuka cerita bahwa hari itu, pihak keluarga memutuskan untuk mencabut alat-alat medis yang menyokong hidupnya selama beberapa hari sebelumnya dan membawanya pulang ke rumah. Dan ia bermaksud mengabarkan, bahwa tak lama setelah dibawa kembali ke rumah, Ai menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku merasakan air mata bergulir di pipiku. Kutatap wajah pacarku yang seketika mengerti bahwa rencana kami nonton film sore itu batal. Ia menuntunku kembali ke mobil dan kami segera melaju ke rumah Ai.

Di sana, belum ada wajah yang kukenal. Kakak Ai mengenaliku dan menjabat tanganku. Ia kemudian mengantarku ke ruang tengah di mana Ai disemayamkan.

Aku menatap tubuh yang sudah terbalut kain kafan di hadapanku. Gumpalan kapas menutupi lubang hidungnya. Kulitnya kembali cerah seperti dulu, tidak kusam seperti di rumah sakit. Dua minggu sebelumnya, aku bahkan tidak menyempatkan diri untuk mampir ke latihan dan bertemu dengannya, mengobrol untuk terakhir kalinya. Ingatanku hanya bisa melayang ke pertemuan singkat di depan gerbang sekolah, sebelum ia dijemput kakaknya sehabis pingsan saat jam olah raga. Teman macam apa aku?

Di antara para pelayat berbaju hitam dan berkerudung, di sanalah aku, memakai blus sabrina putih dengan warna toska di bagian lengannya yang pendek, tas selempang merah jambu, dan bercelana jins. Aku tak membawa kerudung. Aku merasa berada di tempat yang salah. Waktu yang salah.

Memang tak akan pernah ada waktu yang tepat untuk kematian. Aku hanya tak pernah menyangka bahwa waktu bisa berhenti di hitungan tahun ke-16. Saat itu, aku tahu bahwa setiap manusia akan mati. Kematian Ai bahkan bukanlah kematian yang pertama kuhadapi. Akan tetapi, Ai lah yang pertama menyadarkanku bahwa kematian bukan saja akhir dari hidup, tapi juga bagian dari hidup. Aku tak pernah mengetahui, bahwa setelah hari itu, hidupku akan begitu lekat dengan kematian, dan duka yang mengiringinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.