Ambisi Karin

Ambisi Karin

Waktu baca5 menit, 17 detik

Karin sudah lelah berusaha. Semua sudah dia coba, tapi tak pernah ada hasilnya.

Setiap akhir pekan dia naik TransJakarta menuju Pantai Ancol, lalu dalam balutan bikininya, dia merebahkan tubuh di atas pasir, membiarkannya terpanggang matahari Jakarta Utara yang tak kenal ampun.

“Neng! Masya Allaaaaah! Aurat itu, Neng! Tutup dooong… kagak malu, lu?”

“Bujubuneeeeeng! Ada Roro Kidul nyasar di Ancol noh!”

Bukannya kulit gelap, malah seruan-seruan seperti itu yang selalu datang kepadanya setiap pekan. Kata-kata yang hampir sama, orang-orang yang berbeda.

“Lo masih ke Ancol tiap weekend, Rin?” tanya Putri, rekan kerja Karin, suatu hari.

“Masih, Put. Kenapa? Gue tambah item ya?” Karin bertanya balik, penuh harap.

Putri memandang Karin dari ujung rambut sampai ujung jempol kaki Karin yang nongol dari sandal jepit. “Justru gue nanya karena enggak lihat perubahan apa-apa… hahahahaha,” Putri tertawa melihat Karin cemberut.

“Udah lah, terima nasib aja. Nasib lo kan udah bagus. Banyak banget cewek yang pengin kayak lo, Rin. Putih, langsing….”

“Ya kan, gue enggak mau! Gue maunya punya kulit gelap, tetek gede, pantat bahenol… gue pengin jadi cewek-cewek yang dikencani bule!”

“Udah pernah coba airbrush tanning?”

“Memangnya ada ya, di Jakarta?”

“Adaaaaaaa… ke mana aja, lo?”

Karin sedikit merenung, “Harganya berapa, Put?”

Putri menyebutkan angka setara tiga kali gaji Putri, yang cuma sebatas upah minimum.

“Ih, uang segitu banyak mah, mending gue pakai buat ke Bali….”

“Atau lo pakai losion tanning aja. Beli di toko online. Daripada nongkrong kayak dugong di Ancol.”

“Udah pernah!”

“Terus?”

“Meleleh pas gue keringetan….”

“Hahahahaha… ya udah, nabung gih sana. Ke Bali. Biar tanning yang bener, terus langsung kawin sama bule.”

Sebenarnya, Karin sudah pernah menyengajakan pergi liburan ke Bali. Sesampainya di Pantai Kuta, dia kembali mengenakan bikininya dan berjemur di pinggir pantai. Tidak berapa lama terdengar, “Cewek! Cewek!”

Karin pura-pura tidak mendengar. Ia menutup mukanya yang cemberut dengan handuk.

“Halo, Mbak… sendirian aja? Mau ikut nongkrong sama kita, enggak?”

Ya ampun… kok, dari tadi yang dateng cowok lokal doang, sih? Ke mana cowok-cowok bule itu?

Tiga hari di Bali, yang ia dapat cuma kulit mengelupas. Buang-buang uang!

Karin benar-benar menyerah. Mungkin Putri benar. Mungkin dia harus terima nasib saja dengan kulitnya yang cerah, dadanya yang hampir rata, dan pinggangnya yang singset.

“Dik Karin, ndak makan siang?” suara berlogat Jawa menyapanya.

Itu Jarod, cowok asal Madiun, supervisor dari divisi sebelah. Sudah beberapa kali Jarod mengajak Karin untuk nongkrong di luar jam kantor. Ngopi atau nonton. Tapi sudah beberapa kali itu juga Karin menolaknya.

Karin tidak suka dengan Jarod. Bukan karena orangnya terlalu lembut atau kariernya yang cukup melejit di kantor. Tapi, karena Jarod bukan bule!

Kulit Jarod jauh dari cerah. Badannya tinggi, tapi agak gemuk. Lesung pipitnya manis, sih, tapi… tapi… dia bukan bule!

Hmmm, mungkin justru karena Jarod bukan bule. Mungkin… kalau bukan Karin yang bisa menikah dengan bule, mungkin….

Karin seakan mendapat secercah cahaya, “Hmmm.. eh… belum, Mas Jarod. Ini baru mau makan. Mas Jarod sudah makan? Mau makan bareng, enggak?”

Jarod seakan tidak percaya mendengar kalimat Karin. Setelah berbulan-bulan ditolak, kok enggak ada angin, enggak ada hujan, Karin malah mengajaknya makan?

“Waduh, tentu mau, Dik Karin! Dik Karin mau makan di mana? KFC? Yoshinoya? Asal jangan di Holycow ya, Dik… saya belum gajian. Hehehehehe….”

“Ehhh… enggak usah mahal-mahal, Mas. Kita makan di restoran ayam bakar seberang kantor aja, yuk.”

Makan siang ayam bakar itu pun berakhir manis. Tak sampai tiga bulan jalan bareng, Jarod yang memang sudah masuk usia matang, memberanikan diri menyampaikan maksud hatinya.

“Dik… aku tahu, kita belum lama berpacaran. Tapi, aku merasa sudah cukup main-main, Dik. Aku kepengin serius. Menurutmu gimana?”

“Aku juga pengin serius kok, Mas!” Karin buru-buru menjawab. Terlalu bersemangat. “Tapi, aku punya satu permintaan, Mas, sebelum memutuskan untuk hidup sama kamu selamanya.”

“Apa itu, Dik?”

“Aku boleh ketemu ibumu dulu, Mas?”

“Oh, gampang itu, Dik!”

Maka, berangkatlah mereka ke Madiun pada suatu akhir pekan yang panjang.

Liiik, ayu tenan calon istrimu, lik! Duh, nduk, kok mau sama anakku sing ireng iki thaa?” ibu Jarod kegirangan melihat anaknya membawa, bukan cuma calon istri, tapi juga cantik luar biasa.

“Ah, Ibu bisa aja…. Mas Jarod kan baik, tentu saya mau, Bu,” ujar Karin basa-basi. Dalam hatinya, Karin girang bukan main! Ibu Jarod juga berkulit gelap! Bokongnya penuh, bergoyang-goyang saat ia berjalan. Begitu juga payudaranya yang berguncang-guncang, tak sanggup disembunyikan gamis panjang yang membalutnya.

Karin tentu dengan senang hati menikahi Jarod! Kulit gelap ada dalam gen Jarod! Juga bokong dan dada yang tak dimiliki Karin!

Hanya butuh beberapa bulan, Karin dan Jarod resmi jadi suami-istri. Untuk malam pertamanya, Karin telah membuat rencana besar. Ia sudah memilih tanggal pernikahan dalam masa suburnya. Ia rajin meminum berbagai suplemen kesuburan menjelang hari H dan mengajak Jarod rajin berolahraga supaya kuat di ranjang. Ia juga sering membuatkan Jarod oseng taoge, supaya spermanya kuat berenang, dan menghasilkan anak perempuan berkulit gelap yang akan meneruskan ambisinya yang tak lagi bisa terwujud.

Benar saja, tak sampai seminggu, Karin membuktikan dirinya bisa hamil. Dan empat bulan kemudian, saat memeriksakan diri ke dokter kandung, Karin bertambah girang. Anaknya perempuan!

Karin tak sabar menunggu hari kelahiran bayinya. Ia ikut yoga untuk ibu hamil, ia makan makanan sehat, ia tak absen minum air putih supaya bayinya sehat saat lahir.

Saat tiba pembukaan kesepuluh, seluruh keluarga Karin dan Jarod, dari Bekasi dan Madiun, telah berkumpul di ruang tunggu rumah sakit. Ada sedikit komplikasi yang membuat Karin tak bisa langsung bertemu dengan bayinya. Ia dibawa langsung ke ruang perawatan.

“Sabar ya, Bu. Bayi ibu sedang dibersihkan sebentar. Lagipula, Ibu mesti istirahat dulu.”

Tapi, rupanya yang tak sabar bukan hanya Karin. Ibu mertuanya pun sudah begitu bersemangat membawa kabar baik untuk Karin. Saat suara-suara berisik mulai memenuhi kamar perawatannya, Karin membuka mata dengan lemah.

Nduk, ayo bangun, nduk. Ini anakmu ayu tenan, nduk,” terdengar ujar ibu mertuanya.

Karin perlahan menguatkan diri untuk menggendong anaknya. Ia sudah tak sabar bertemu hadiah Tuhan yang akan mengubah nasibnya. Namun, saat Karin menatap bayi di pelukannya, hatinya seakan berhenti berdetak. Ia menatap nanar gumpalan selimut itu. Napasnya sesak, dan tanpa bisa terbendung, genangan air meluap dari matanya.

Tergugu-gugu, ia mendengar ibu mertuanya berkata dengan ceria, “Cantik kan, nduk! Syukurlah, anakmu putih kayak kamu…. Ndak ireng koyo’ Jarod ngene lhooo hahahahahahaha….


[Ditulis saat pertemuan mingguan CS Writers Club Bandung, 29 Maret, 2018.
Merespons topik “Film Kenapa Harus Bule?”.]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.