Makhluk Asing Bernama Brainspotting

Makhluk Asing Bernama Brainspotting

Waktu baca10 menit, 28 detik

Ini adalah tulisan pertama dalam rangkaian tulisan tentang pengalaman saya menjalani terapi brainspotting. Percakapan saya dengan psikolog Ibu Amanda Octacia Sjam bukan verbatim karena hanya saya ambil dari ingatan terkuat selama interaksi kami, yang berlangsung sejak Juli 2017 sampai Februari 2019. Tulisan ini saya buat murni dengan maksud berbagi pengalaman pribadi sehingga mungkin berbeda dengan pengalaman orang lain. Tidak ada maksud komersial ataupun motif-motif lainnya.

Ruangan itu tak tampak seperti yang sering ditampilkan film-film Hollywood. Tidak ada sofa panjang di mana biasanya pasien berbaring. Tidak juga suasana interior elegan berwarna kalem dengan jendela atau dinding kaca menghadap hehijauan. Satu-satunya yang menghadirkan kesan Freudian adalah kursi kulit berpunggung tinggi yang berada di sebelah meja periksa dokter. Baru kemudian kutahu bahwa ternyata kursi itu bukan untuk diduduki terapis, tapi pasien.

Ruangan itu tak berjendela, terletak di lantai dua sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Sebuah ruang praktik dokter, lengkap dengan meja periksa yang nampak tak berguna, yang dipaksakan menjadi ruang konsultasi psikologi. Hanya si kursi Freudian dan tulisan di pintu ruangan yang menegaskan bahwa itu bukan ruang praktik dokter: “Amanda Octacia Sjam, M. Psi. Psikolog.”

Aku mendapat kontak Ibu Amanda dari teman yang juga bolak-balik berurusan dengan psikolog dan psikiater. Foto di profil WhatsApp-nya menunjukkan perempuan cantik yang usianya masih relatif muda. Mungkin akhir 30-an atau awal 40-an. Raut mukanya tegas, membuatku agak segan. Tapi, ia membalas pesanku di WhatsApp dengan hangat dan ketika bertemu, ternyata pembawaannya jauh lebih ramah dan santai daripada tampilannya.

“Praktik di rumah sakit, jadi lebih murah,” kata temanku. Psikolog yang membuka praktik privat memang identik dengan tarif yang lebih tinggi. Tiga tahun sebelumnya, di Jakarta, aku pernah berkonsultasi dengan konselor pernikahan yang membuka praktik di rumah. Yang menjadi ruang konsultasinya adalah ruang perpustakaan pribadi yang dikelilingi rak-rak besar berisi koleksi buku dan DVD—orisinal, bukan bajakan. Ruangnya lapang dengan jendela ke arah taman yang terjaga asri. Di seberang ruangan ada powder room, yang mungil tapi cantik, ala rumah-rumah kolonial. Tarif konsultasinya? Dua kali lipat dari tarif konsultasi di rumah sakit itu.

Buatku saat itu, kenyamanan ruang bukan prioritas. Tabunganku sejak resign mulai menipis dan aku kesulitan bekerja karena masalah depresi yang, setelah lima tahun sejak pertama kali kurasakan, bukannya mereda malah memuncak.

Di pertemuan pertama, aku belum duduk di kursi Freudian. Ibu Amanda mempersilakanku duduk di salah satu dari tiga kursi kosong yang mengitari sebuah meja kayu berbentuk bundar. Aku memilih duduk berseberangan dengan Ibu Amanda, lalu merasa seperti sedang rapat, bukannya konsultasi psikologi.

Ia memulai dengan pertanyaan, “Jadi, apa yang menjadi masalah? Apa yang Eka rasakan?”

Seandainya ia adalah dokter umum dan aku datang karena sakit mag, mungkin akan jauh lebih mudah menjelaskannya. Kemarin perut terasa perih. Hari ini sudah dua kali muntah asam lambung. Seminggu terakhir minum kopi dua gelas sehari dan jadwal makan tak menentu karena sedang masuk tenggat. Sudah dua hari minum obat lambung yang bebas dijual, total enam kali minum. Mudah, kan?

Aku mengambil jeda beberapa detik sambil bergumam, “Saya mulai dari mana ya, Bu?”

Ibu Amanda menunggu. Raut wajahnya yang tegas ketika sedang diam membuatku sedikit berdebar.

Tak pernah mudah menjelaskan depresi, bahkan kepada tenaga profesional yang sudah terbiasa menghadapinya. Membuka diri tentang kondisi psikologis mengundang risiko disepelekan, bahkan dihakimi. Tenaga profesional kesehatan mental juga manusia dengan kepribadian yang berbeda-beda. Tidak semuanya akan bereaksi sesuai harapan saat mendengar apa yang kita ceritakan.

Harus mulai dari mana? Perasaan? Lalu terbayang orang-orang yang sudah pernah kucurhati berkata, “Jangan terlalu terbawa perasaan. Nggak usah dibawa stres.”

Aku memutuskan untuk memulai dari kejadian yang terdekat. Terjadi tepat saat Idul Fitri tahun 2017, belum juga lewat satu bulan dari pertemuan hari itu.


H minus satu Lebaran, aku menjalankan puasa seperti hari-hari sebelumnya. Sore hari menjelang buka puasa, aku minta suamiku menemaniku ke makam Mama. Kami berdua membersihkan makam, berdoa sebentar, lalu memberikan sedikit uang lelah untuk para penjaga makam. Seusainya kami mencari makanan kecil untuk buka puasa—seblak, lumpia basah, dan es cendol. Ketika pulang—kami masih tinggal di rumah orangtua suamiku—suasana sudah ramai dengan saudara-saudara yang ikut buka bersama. Tidak ada yang ganjil, semua normal-normal saja.

Malam itu, aku pergi tidur lebih awal, sekitar pukul delapan. Suamiku menyusul masuk kamar tengah malam. Aku terbangun dan kami mengobrol sebentar, tapi tak lama kemudian ia terlelap. Aku terjaga sendirian di kamar yang gelap, lalu pikiranku mulai melayang-layang tak tentu arah.

Tahun itu adalah Lebaran kedua di rumah mertuaku dan Lebaran ketiga setelah Mama meninggal. Tiba-tiba dadaku sesak mengingat Mama, mengingat Lebaran terakhir kami bersama, saat fisiknya mulai melemah karena kanker paru-paru yang belum terdeteksi. Lalu terbayang Lebaran setelahnya, saat Papa, dalam kedukaannya sepeninggal Mama, bertingkah seperti remaja puber yang menyebalkan. Diam-diam pacaran dengan teman kuliahnya yang janda dan merencanakan pernikahan tanpa kami, anak-anaknya, pernah bertemu muka satu kali pun dengan perempuan itu, apalagi dimintakan pendapat.

Tahun itu, Papa sudah menikah lagi. Bukan dengan teman kuliahnya yang janda itu, dan kali ini setelah kami—Papa dengan anak-anaknya juga calon istri Papa dengan anak-anaknya—saling bertemu dan berkenalan. Dua Lebaran terakhir dihabiskannya di Cilacap, kampung halaman ibu tiriku. Adikku, dengan istri dan anaknya, sudah berada di Bintaro, di kediaman keluarga istrinya. Dan aku, berada di tengah-tengah keluarga besar suamiku, merasa begitu asing. Keluarga intiku sudah terpencar-pencar. Keluarga besar terdekatku, dari pihak Mama, terasa begitu jauh sepeninggalnya Mama sehingga tak lagi terasa kalau aku adalah bagian dari mereka. Aku merasa amat sangat kesepian.

Aku mulai menangis tanpa sebab yang benar-benar mendesak selain perasaan kesepian itu. Aku menangis, lalu mereda, lalu menangis kembali, lalu mereda lagi. Terus begitu sampai takbir berganti azan subuh. Suamiku terbangun, kaget mendapatiku menangis. “Aku belum tidur,” ujarku di tengah-tengah sembap. Aku menyuruhnya bersiap-siap salat Idul Fitri selagi mencoba menenangkan diri.

Matahari sudah menyingsing dan tangisku tak kunjung bisa kukendalikan. Aku memutuskan untuk tak ikut salat Idul Fitri. “Bilang yang lain, aku sakit,” ujarku. Tangisku itu bertahan selama dua hari, hanya berhenti ketika tidur. Ketika terbangun, aku akan mulai menangis lagi, tak jelas sebabnya. Suamiku membentengiku dari pertanyaan-pertanyaan keluarganya. Ia memutuskan kami tak jadi ikut mudik ke kampung halaman ibunya di Sumedang, menyuruhku tetap di kamar, tak perlu menemui orang-orang yang sudah memenuhi rumah orangtuanya. Di akhir hari kedua Lebaran, tiba-tiba tangisku mereda. Hilang begitu saja, meninggalkan kebas dan bengkak di wajah, pengar di kepala, dan kekosongan yang sulit kujelaskan.


Aku masih duduk di hadapan Ibu Amanda. Kukatakan padanya bahwa kejadian itu menjadi titik di mana aku merasa sangat perlu untuk mencari bantuan profesional. Lalu, sesingkat mungkin, kuceritakan bahwa dalam rentang waktu tiga tahun, aku menghadapi kematian bayi-bayiku yang lahir prematur, perceraian, dan kematian ibuku karena kanker. Cerita yang sudah berulang-ulang kuceritakan seperti kaset kusut memutar lagu yang sama terus-menerus. Lalu kusampaikan juga, seperti halnya menceritakan riwayat obat yang kumakan, bahwa aku pernah beberapa kali menjalani hipnoterapi dan konsultasi dengan konselor pernikahan.

Ibu Amanda sibuk mencatat di map rekam medisnya. Lalu ia mengajukan beberapa pertanyaan, yang sebagian besar sudah tak kuingat lagi. Kalau tak salah, dua di antaranya tentang ada atau tidaknya gejala fisik dan bagaimana pengaruhnya terhadap kegiatan sehari-hariku.

Sekitar dua bulan sebelum pertemuan hari itu, aku mengalami infeksi saluran kencing yang tidak jelas penyebabnya. Aku sudah mendatangi internis dan urolog, tapi jawabannya tak memuaskan. Hasil tesku membuktikan ada bakteri, tapi seharusnya sudah hilang dengan pemberian antibiotik. Tidak ada tanda-tanda batu ginjal. Sebelumnya lagi, sempat beberapa kali muncul benjolan di kaki yang membuatku sulit berjalan. Juga tak jelas penyebabnya. Dan yang paling sering muncul adalah sakit lambung, kadang cukup parah sampai membuatku harus dilarikan ke IGD.

“Ada pengaruh kepada kegiatan sehari-hari?”

Oh, tentu. Aku jadi cemas, terobsesi untuk mencari tahu apa yang salah dengan diriku. Aku sulit berkonsentrasi saat kerja dan selalu merasa tidak layak, tidak kapabel untuk menjalankan tugas.

Ibu Amanda kembali menulis-nulis di catatan rekam medisnya. Kemudian, ia mendongak dan mulai berbicara. Aku tak terlalu memperhatikan kata-kata pengantar yang disampaikannya, sampai perhatianku kemudian tercuri ketika dia berkata, “Melihat kondisi Eka, saya mau menawarkan terapi brainspotting. Bisa saya jelaskan dulu, nanti Eka bisa putuskan, apakah tertarik atau tidak.”

Oh, shit, ujarku dalam hati, makhluk apa lagi ini?

Aku mulai merasa malas, rasanya tak beda jauh dengan ditawari produk asuransi yang menjanjikan bukan saja nilai pertanggungan besar, tapi juga pengembalian berupa investasi yang luar biasa menguntungkan. Aku sudah kehilangan kepercayaan pada terapi hipnoterapi, sulit rasanya membangun kepercayaan pada teknik terapi baru. Semua karena ayahku sendiri juga seorang hipnoterapis klinis, meski tanpa latar pendidikan psikologi. Aku hanya ingin terapi bicara yang konvensional dan sudah teruji. Aku tak ingin berada di dalam sesi terapi di mana aku merasa tak punya kendali atas tubuhku sendiri dan tak tahu akan dibawa ke mana arah pikiranku.

Berkali-kali ayahku menawarkan diri untuk “menuntaskan” masalah emosiku lewat teknik hipnoterapinya dan aku lebih sering menolak. Sebagian karena aku tak ingin ia mencampuri urusan pribadiku. Sebagian lagi karena aku melindunginya dari mengetahui kenyataan bahwa ia dan kepercayaan dirinya yang berlebih itulah yang menjadi akar masalahku. Aku hanya membiarkannya melakukan terapi atas keluhan-keluhan remeh seperti kurang percaya diri menghadapi wawancara kerja atau sakit-sakit badan yang ringan. Hanya untuk menghibur egonya saja.

Namun, seperti biasanya, aku tak kuasa menolak permintaan orang lain karena tak ingin terlihat tidak sopan. Aku pun meminta Ibu Amanda menjelaskan. Ia memberi gambaran bahwa metode brainspotting didasarkan penelitian bahwa arah pandangan mata kita terhubung dengan emosi. Terapis, dalam hal ini Ibu Amanda, akan membantuku mengakses trauma, masalah emosional, maupun masalah somatis dengan memandu arah pandangan mataku.

Ia pasti melihat ketidakpercayaan di wajahku karena kemudian ia mencoba mengelaborasi penjelasannya. Dikeluarkannya buku panduan dengan gambar bagian-bagian otak di dalamnya dan mulai menyebutkan istilah-istilah sains yang rumit. Amygdala, sistem limbyc, frontal cortex. Keputusan yang salah karena aku malah semakin bingung.

Di akhir penjelasannya, aku cuma bisa bertanya, “Apa bedanya dengan hipnoterapi, Bu?”

 “Oh, berbeda. Dalam brainspotting, pasien dalam keadaan sadar dan memiliki kendali penuh. Kalau Eka tidak mau menceritakan apa yang Eka rasakan atau ingatan yang muncul pada saat terapi berlangsung, tidak jadi masalah,” tukasnya.

Ah! Aku mulai tertarik. Terapi dengan psikolog tanpa perlu bercerita secara verbal? Tanpa perlu diubek-ubek isi otaknya oleh orang tak dikenal dalam keadaan pikiran sadar dilumpuhkan? Masa, sih, bisa?

Toh, aku tak punya banyak pilihan. Aku tak ingin menjalani hipnoterapi tanpa dibarengi dengan terapi psikologi yang lebih konvensional seperti terapi bicara. Aku juga tak ingin cari jalan pintas dengan minta resep antidepresan pada psikiater. Saat itu, Ibu Amanda adalah satu-satunya praktisi brainspotting di Bandung (tahun ini sudah ada dua orang), aku tak punya pilihan untuk meminta opini lain. Tapi, aku juga sudah mendengar betapa kadang mengikuti terapi bicara sangat lamban dan menyita waktu.

“Kalau saya oke, kita akan mulai kapan, Bu?” tanyaku.

“Bisa minggu depan,” ia menjawab cepat. Terlalu cepat. Aku mulai menimbang-nimbang kondisi keuanganku.

Kuputuskan untuk bertanya tentang tarifnya. Daripada nanti tabunganku habis, lalu usahaku untuk keluar dari ruwetnya depresi ini berhenti di tengah-tengah, tanpa hasil memuaskan, seperti perawatan menghilangkan rambut pubis dengan penyinaran yang pernah kulakukan dulu. Ibu Amanda menjelaskan tarifnya. Lebih mahal tiga ratus ribu dari tarif konsultasi reguler. Tapi, ia memberi catatan, tidak ada batasan waktu dalam satu sesi terapi.

“Kira-kira, kasus seperti saya butuh berapa kali pertemuan, Bu?”

“Saya tidak bisa menjanjikan. Tergantung seberapa dalam masalah dan bagaimana pasien merespons terapi,” jawabnya.

Nah, ini yang tak kusuka dari terapi-terapi cutting edge macam ini. Sudah harganya nggak murah, nggak tahu kapan selesai pula. Mending kalau bisa dibayar lewat mekanisme BPJS.

“Lalu, frekuensinya, harus berapa kali dalam satu bulan?” aku mencari jalan lain untuk bisa mengalkulasi kebutuhan dana yang harus kusiapkan.

“Sebaiknya setiap minggu. Tapi, bisa disesuaikan dengan jadwal Eka kalau memang tidak bisa.”

Akhirnya aku mulai jujur dengan kondisi keuanganku, “Bu, saya kerja freelance. Jadi, penghasilan per bulan saya nggak pasti. Dengan kondisi sekarang, maksimal yang bisa saya jalani hanya dua kali per bulan.”

“Nggak apa-apa, tapi Eka juga harus mengerti kalau proses penyembuhannya akan makan waktu yang lebih lama.”

“Saya nggak masalah dengan itu, Bu. Hmmm… kalau misalnya, di tengah-tengah, kondisi keuangan saya kurang lancar lalu ternyata saya hanya bisa sebulan sekali, gimana Bu?” aku memberikan skenario terburuk.

“Asalkan kita sama-sama berkomitmen. Kalau memang sudah jadwalnya terapi, walaupun satu bulan sekali, ya benar datang untuk terapi.”

Aku mengambil jeda beberapa saat lagi. Nampaknya, walaupun tampilan luarnya terkesan keras dan tegas, Ibu Amanda cukup fleksibel. Dan aku sudah sangat lelah dengan kondisi emosionalku sendiri, yang tak jelas juntrungannya itu.

Kuambil keputusan tanpa berpikir lagi, “Oke, Bu. Minggu depan kita mulai terapi.”


Photo by Jesse Orrico from Unsplash

5 thoughts on “Makhluk Asing Bernama Brainspotting

  1. Halo mbak, saya barusan di-recommend oleh psikolog saya untuk mencoba brainspotting. Tapi waktu di-recommend saya lagi nggak stabil dan belum sempat nanya-nanya. Harga per sesi kisaran berapa ya mbak? Thank you

    1. Halo, Giskha. Di Bandung harga per sesi sekitar 500 ribu, tapi bisa jadi berbeda di lain kota. Kalau sudah merasa stabil, lebih baik langsung tanya ke terapis dan konsultasi kalau merasa kesulitan soal dana. Semoga membantu dan semoga lekas pulih, ya.

      1. Terima kasih Mbak untuk jawabannya. Apakah Mbak Anastha sudah mulai untuk terapinya? Apakah merasakan ada perubahan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.