#CeritaKarantina: Senin. Hari ke-41.

#CeritaKarantina: Senin. Hari ke-41.

Waktu baca2 menit, 17 detik

Hari-hari sudah saling membaur dan kehilangan artinya. Bahkan hari ini, ketika #BungSoja tepat berusia 8 bulan dan tiba waktunya imunisasi PCV dosis kedua. Rumah sakit tempat kami biasa melakukan imunisasi beroperasi terbatas dan kemarin aku lupa daftar. Mungkin lusa, atau Kamis, kami akan pergi imunisasi. Itu pun kalau dapat jatah kuota.

Empat puluh satu hari berarti hampir enam minggu. Banyak yang sudah ditambahkan ke dalam daftar kewajaran baru. Berangkat ke pasar atau supermarket dengan persiapan seperti perang dunia. Mandi dari ujung rambut sampai ujung kaki setiap pulang dari luar rumah. Menyemprot disinfektan ke dan mencuci segala benda dari luar rumah. Bergantian kerja dan mengasuh anak dengan suami. Menurunkan standar-standar kerja dosmetik seperti berhenti menyetrika.

Toh, masih ada saja hal baru yang butuh penyesuaian. Empat hari lalu adalah awal bulan Ramadan. Tak terelakkan, pola bangun-mengasuh anak-kerja domestik-kerja cari uang-tidur pun berubah lagi. Padahal pola hidup baru dalam kondisi pandemi ini baru saja terbentuk beberapa minggu lalu. Lalu, muncul ini pula, mesti imunisasi ke rumah sakit. Membayangkannya saja sudah bikin pening.

Aku tak melewati masa-masa ultra-produktif yang diisi dengan bikin kopi dalgona, ikut kelas daring ini-itu, nonton (atau bikin) IG Live, atau mewujudkan body goals dengan macam-macam olahraga. Aku tetap memaksakan diri untuk produktif, tapi cuma untuk satu hal: masak makanan pendamping ASI.

Empat puluh satu hari lalu, #BungSoja hanya lancar makan ketika di tempat penitipan. Di rumah, ia ogah disuapi, tapi makan sendiri pun belum bisa. Dua minggu pertama masa penjarakan sosial, rasanya mau mati saja. Pagi sampai sore bergulat dengan jadwal kerja suami, jadwal kerja sendiri, dan giliran mengasuh anak. Malam hari terasa tak ada ujungnya. Menyelesaikan pekerjaan domestik. Sibuk putar otak untuk mengakali jenis dan tektur masakan supaya #BungSoja bisa makan sendiri tanpa dipaksa makan makanan yang belum siap dicerna tubuh seusianya. Tambahan lagi, ia masih minta menyusu hampir setiap jam di waktu malam!

Badan remuk. Pikiran kalut.

Kalut oleh kecemasan akan kemungkinan terjangkit wabah iniā€”atau malah yang lebih buruk, menulari keluarga yang kondisinya rentan. Kalut oleh ketidakpastian akan apa yang menyambut kita di ujung pandemi ini. Cukupkah tabungan dan investasi kamiā€”aku dan suamiā€”untuk melewati semua ini? Bisakah anak kami bertumbuh kembang dengan baik? Bisakah tempat kerja kami bertahan nanti? Masihkah proyek-proyek kerja seramai sebelum pandemi? Jadikah punya rumah sendiri seperti yang sudah kami rencanakan awal tahun ini?

Katanya, kita semua pada akhirnya akan memasuki fase penerimaan. Bahwa situasi ini akhirnya akan dicerna sebagai kewajaran baru. Bahwa semua ini akan jadi semacam momen pencerahan akan apa yang penting dan tak penting dalam hidup. Tapi kenapa aku merasa terjebak di fase penyesuaianā€”terus-menerus menyesuaikan diri dengan pola yang juga seakan tak berhenti berubahā€”tanpa ada titik terang menuju fase penerimaan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.