Sebelum kita mulai, kurasa aku perlu buat disclaimer. Aku tak nonton Past Lives (2023) dengan utuh. Berbulan-bulan lalu, saat pertama kusetel, aku tonton sampai menit ke-19. Lalu, aku dapat perasaan kalau film ini akan banyak bikin aku ke-trigger, jadi kuurungkan niat menyelesaikannya. Aku sedang tak mau berakhir mellow dan mewek berhari-hari.
Tapi, aku penasaran, jadi aku loncat ke beberapa bagian (termasuk ending, please don’t judge me). Salah satunya, ketika Nora menjelaskan tentang in-yeon kepada laki-laki yang akan menjadi suaminya.
In-yeon, menurut Nora, berarti takdir. Namun, takdir yang erat kaitannya dengan keterhubungan antara dua manusia. Bahkan saat dua orang berpapasan di trotoar, lalu pakaian keduanya tak sengaja bersinggungan, itu adalah in-yeon. Takdir. Yang terikat kuat hingga melintas dari satu kehidupan ke kehidupan sebelum dan setelahnya.
Lalu, kemarin. Saat aku ikut Family Constellation Workshop di Plaza Indonesia. Kami, para peserta, diinstruksikan untuk mencari satu orang yang belum kami kenal di ruangan itu dan menjadikannya pasangan role-play. Role-play adalah sesi yang paling penting dalam Family Constellation Therapy.
Seorang laki-laki necis menjelang paruh baya mendekatiku. “Mbak, mau pasangan sama saya?”
“Oh, boleh, Pak,” aku menerima ajakannya sambil sedikit memicing. Wajahnya terasa familier.
Kami berkenalan, kemudian mengambil tempat di dekat pilar ruangan dan memulai role-play. Temanya adalah emosi yang berhubungan dengan uang. Maka, kami bergantian menjadi diri kami sendiri, sedang yang lain menjadi uang, kemudian saling menyampaikan emosi yang kami rasakan.
Aku mendengarkan dengan seksama, suaranya pun terdengar familier. Aku mengingat-ingat namanya, Bapak A. Dan, tiba-tiba terbersit, “Pak, maaf, Bapak pernah ikut sesi online, gak?”
“Iya, Mbak. Saya juga dari tadi ngingat-ngingat, rasanya pernah dengar suara Mbak.”
Lenganku merinding seketika. “Ya ampun, Pak. Kita berdua role-play juga di sesi Father Wounds kan, ya?”
Jadi, awal Maret yang lalu aku coba-coba ikut sesi online Family Constellation Workshop. Harapanku, kalau cocok, aku akan ikut sesi offline. Kebetulan, topik sesi online kali itu amat sangat berhubungan dengan isu yang tak kunjung usai sepanjang hidupku: Healing Father Wounds.
Kalian yang sudah sering kucurhati pasti sudah nggak aneh, ya, kalau aku ikut topik macam itu.
Seperti sesi offline, ada role-play juga dalam sesi di Zoom itu. Setelah role-play besar yang menguras emosi, yang mana aku terpilih menjadi pemeran di dalamnya, kami dipecah ke dalam breakout rooms; dipasangkan berdua-berdua secara acak.
Dalam breakout room itulah aku bertemu Bapak A untuk pertama kalinya. Kami diminta untuk bergantian untuk menjadi ayah dan anak, kemudian menyampaikan apa yang kami rasakan dan ingin sampaikan kepada ayah kami. Ketika aku jadi anak, mungkin terasa lebih natural ketika aku menyampaikan perasaan untuk ayahku. Bapak A, kan, laki-laki. Saat bergantian, lah, aku merasa agak rikuh.
Namun, ia bersungguh-sungguh melakukannya. Dengan sedikit terbata-bata, ia berusaha menyampaikan apa yang ia rasakan dan pikirkan tentang ayahnya. Aku mengagumi keberaniannya untuk membuka diri. Dari tampilan rupa dan latar belakang ruangan tempat dia berada, aku bisa merasakan kalau orang ini cukup berada dan mungkin, punya jabatan atau pengaruh penting. Tentu bukan hal yang mudah untuk seorang laki-laki, apalagi dengan posisinya, untuk melakukan hal itu. Aku tahu betul. Suami dan adikku sendiri saja tak pernah berani coba-coba sesi seperti ini. Kurasa, ia pasti melakukan ini semua untuk keluarga, terutama anaknya.
Menyadari semua itu, dalam peranku sebagai ayahnya, aku ingat membalas ungkapan hatinya dengan, “You are enough. I can see that you are a great father. And you’ve done the best you can.”
Ternyata, ia masih mengingat kata-kataku, dan kemarin dia bilang, “Semakin lama Mbak ngomong tadi, saya semakin kenal suara Mbak. Saya ingat benar karena there’s something soothing in your voice that night.”
Bulu kuduk di lenganku kembali meremang. Mataku sedikit memanas. Aku tak sangka, pertemuan 10 menit di Zoom itu menjelma pertemuan fisik dan membekas bagi kami berdua.
Aku membuka percakapan yang lebih santai, “Pak A ini apa…?”
“…masalahnya?” dia berseloroh, lalu tertawa.
Aku ikut tertawa, “Bukan, Pak. Profesi Bapak….”
“Saya di bank, Mbak,” ia pun menyebutkan nama sebuah bank swasta.
“Oh, ya? Saya dulu juga di bank, Pak. Tapi sudah resign 10 tahun lalu.”
“Terus, sekarang apa profesinya?”
“Sekarang saya nulis, Pak.”
“Oh, ya?” dia agak terkejut. “Ayah saya juga penulis. Jurnalis, tepatnya.”
Aku termangu.
“Salah satu profesi yang sangat saya kagumi itu penulis, Mbak…,” dia kemudian menjelaskan keterkagumannya, tetapi suaranya seperti luruh dalam suasana kelas.
Aku tersesat dalam pikiranku sendiri, membayangkan bahwa pada sesi pertama kami role-play, aku berperan menjadi ayahnya tanpa dia tahu bahwa aku seorang penulis. Bahwa ia, yang ayahnya seorang jurnalis, kemudian menjadi seorang pekerja kantoran, seorang bankir. Bahwa aku, yang ayahku seorang PNS Kementerian Keuangan, anaknya pun pernah menjadi bankir, kemudian banting setir menjadi penulis.
In-yeon. Bulu kudukku seperti tak diberi jeda untuk berhenti meremang.
“Luar biasa, ya…,” dia melanjutkan sambil agak menerawang. “Buat saya, sesi Family Constellation ini… apa ya… metaphysical. Sampai bisa ketemu Mbak lagi seperti ini.”
Aku mengangguk-angguk bersemangat. Seorang penulis sedang kehilangan kata-kata.
“Ini tuh, kayak full circle ya, Pak…,” akhirnya aku menemukan kata-kataku, yang bahkan tak setengah mewakili apa yang kurasakan sore itu.
Aku kembali ke Bandung dengan kepala mengawang. Tubuhku terasa begitu ringan, rasanya seperti tak menjejak tanah. Melaju dengan ojek daring di jalanan Jakarta yang penuh nostalgia, makan di stasiun sambil mengerjakan teks takarir pesanan teman, lalu terburu-buru menuju peron.
Di dalam kereta cepat, aku mengecek ponsel dan menemukan dua panggilan tak terjawab. Dua-duanya dari terapisku, Ibu Amanda. Tumben dia nelepon malam-malam. Takut penting, kutelepon balik nomornya.
“Hayoo…,” suara yang sudah akrab menemani perjalanan pulihku selama tujuh tahun terakhir itu menyapa dari ujung sambungan. “Ngapain malam-malam ada di stasiun KCIC? Habis dari mana, hayoooo?”
Aku tertawa, lalu bangkit dari kursiku, celingukan mencarinya. Kukira dia ada di gerbong yang sama denganku. Ternyata, ia melihatku buru-buru menuju peron. Kami naik kereta yang berbeda.
“Aku manggil-manggil kamu udah kayak orang gila, kamu gak dengar.”
Aku tertawa lagi. Tadi telingaku disumpal earphone dengan musik elektronik yang berdentam.
Satu lagi in-yeon. Ada apa dengan hari ini?
Aku langsung teringat untuk melapor, “Aku baru pulang dari Family Constellation Workshop, Bu. Yang sama Meilinda Sutanto.”
“Oh yaaa? That’s good,” ia terdengar antusias.
Pemberitahuan bahwa kereta akan segera berangkat sudah berbunyi. “Aku berangkat duluan ya, Bu. Nanti kita ngobrol lagi.”
“Yaa… Hati-hati, ya.”
Kutuntaskan panggilan itu sambil tersenyum lebar.