Mempertanyakan Nurani Manusia Jakarta

Mempertanyakan Nurani Manusia Jakarta

Waktu baca5 menit, 20 detik

Sepanjang hari ini beredar sebuah foto hasil tangkapan layar dari aplikasi Path, berisi seorang perempuan muda yang menulis bahwa ia enggan memberikan tempat duduknya di kereta kepada ibu hamil dan menyebut ibu hamil menyusahkan orang. Setelah sepanjang pagi dan siang timeline saya dipenuhi oleh foto tersebut, kemudian muncul foto kedua. Masih berasal dari tangkapan layar aplikasi Path, kini si perempuan muda yang telah menyadari bahwa tulisannya telah menyebar seperti virus, menuliskan latar belakang dari tindakan dan pemikirannya. Ia membela diri dengan menceritakan bahwa keengganannya untuk memberi kursi dilatarbelakangi kakinya yang pincang akibat pergeseran tulang dan bagaimana ia berusaha tidak menyusahkan orang lain.

Saat melihat foto pertama saya langsung berpikir, “Wow! Gila juga ya anak ini. Bisa-bisanya dia berpikir seperti ini dan berani menuliskannya di media sosial.” Saya awalnya tak ingin menanggapi apalagi ikut menyebarkan foto itu karena saya merasa bukan lagi bagian dari komunitas ibu muda meski saya juga pernah menikah, mengandung, dan melahirkan sepasang bayi kembar yang kemudian meninggal. Hanya saja semakin sore timeline saya semakin dipenuhi foto tersebut beserta berbagai komentar negatif, lalu muncul foto kedua yang juga diiringi komentar negatif, akhirnya saya tidak tahan juga untuk mengunggah sebuah pemikiran pendek di Path dan memutuskan untuk membuat tulisan ini.

Ada dua hal yang menjadi renungan saya. Yang pertama, saya tidak heran dengan apa yang dipikirkan oleh si perempuan muda ini. Setelah lima tahun lebih tinggal dan menggunakan transportasi umum di Jakarta, bahkan sempat juga dalam keadaan hamil, saya sangat tahu rendahnya kepedulian masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk memberikan kursi dalam transportasi umum kepada yang lebih membutuhkan. Saat hamil saya juga beberapa kali tidak diberi kursi dalam bus, hanya saya memilih untuk diam dan berusaha keras tidak menggerutu dalam hati. Saya juga bertanya-tanya hampir setiap hari apakah memang hidup di Jakarta sebegitu sulitnya hingga urusan mempertahankan kursi menjadi bagian dari mempertahankan hidup. Meminjam perkataan seorang teman saya, masyarakat Jakarta yang mengantri kendaraan umum, terutama di jam-jam sibuk yaitu waktu berangkat dan pulang kantor, sudah berkelakuan layaknya zombie: siap memakan sesama manusia demi kepentingannya sendiri. Saya didorong, terjepit, disikut, kaki saya terinjak, bahkan sekali waktu dijegal demi memperebutkan tempat duduk dalam kendaraan umum.

Saya biasanya menggunakan bus dan belum pernah menggunakan kereta sebagai alat transportasi, tapi bisa memberikan sedikit gambaran waktu perjalanan yang dibutuhkan warga Jakarta dan sekitarnya untuk berangkat maupun pulang dari tempat kerja. Dulu saya pernah tinggal di Cileungsi, Kabupaten Bogor dan bekerja di Veteran, Jakarta Pusat. Kalau menggunakan kendaraan pribadi, saya harus berangkat tepat pukul 5 pagi agar tiba di kantor sekitar pukul 6.15. Terlambat 10 menit saja efeknya berlipat ganda; saya bisa tiba di kantor pukul 8.30 dan itu berarti saya terlambat masuk kantor. Jika menggunakan bus, saya mesti berangkat paling lambat pukul 4.45. Perjalanan pulang jika menggunakan bus memakan waktu kurang lebih dua jam, belum termasuk waktu yang dihabiskan untuk menunggu bus jurusan Senen-Cileungsi datang. Perjalanan menggunakan kendaraan pribadi memakan waktu yang kurang lebih sama jika dilakukan sebelum pukul 8 malam. Jika perjalanan dilakukan setelah pukul 8 bisa menghabiskan waktu satu sampai satu setengah jam. Ketika akhirnya pindah rumah ke Cempaka Putih, Jakarta Pusat dan pindah kantor ke Sudirman, Jakarta Selatan, saya menghabiskan waktu satu setengah jam dalam sekali perjalanan, atau tiga jam waktu pergi-pulang; 45 menit menunggu bus dan 45 menit di perjalanan.

Perjalanan pergi-pulang yang sebegitu panjang dan melelahkan ditambah tekanan saat bekerja, khusus untuk para istri yang bekerja ditambah lanjutan tugas mengurus anak dan suami ketika pulang ke rumah, serta tambahan masalah hidup lainnya menjadi rutinitas yang begitu berat dijalankan. Infrastruktur yang berantakan, fasilitas umum yang seadanya dan lalu lintas yang semrawut menjadikan Jakarta kota yang tak ramah bagi penduduknya. Mahalnya biaya hidup dan tingginya gaya hidup mengubah penduduk Jakarta menjadi mesin penghasil uang sehingga sebagaimana mesin, kita tak lagi punya hati. Inilah mengapa saya masih ingin menuntut Jokowi membuktikan janjinya untuk mengatasi berbagai permasalahan di Jakarta, bukannya malah mencalonkan diri jadi presiden. Tanpa disadari, kemacetan, kendaraan umum yang tak layak, UMP, banjir, dan semua permasalahan yang sepertinya tak berhubungan langsung dengan urusan hati, sebenarnya juga punya andil dalam proses pengikisan nurani manusia Jakarta.

Hal yang kedua adalah sebuah pemikiran yang timbul dari pendapat seorang teman. Teman saya menyoroti bagaimana unggahan si perempuan muda ini bisa beredar begitu viral, padahal Path hanya mengizinkan seseorang berteman dengan 150 orang saja. Ini berarti ada setidaknya satu orang di antara 150 orang teman si perempuan muda, yang entah apa motivasinya dengan sengaja menyebarkan unggahan itu kepada orang banyak. Satu orang ini mungkin tidak setuju dengan si perempuan muda, tapi bukannya menyampaikan langsung, ia memilih menyebarkan pernyataan itu kepada orang banyak. Satu unggahan tersebut kemudian berujung menjadi berita di media lokal. Ini gila.

Melihat isi dari pernyataan si perempuan muda sebenarnya kita bisa melihat bahwa tingkat kedewasaannya belum tinggi. Seperti melihat seorang anak kecil yang menjulurkan jarinya ke api kemudian menangis, kita bisa memilih untuk menyalahkannya karena bermain api padahal ia belum tahu bahwa api itu panas atau bertanya hal apa yang mendorongnya menjulurkan jari ke api. Atas sebuah tindakan, pasti ada alasan di belakangnya dan ada berbagai pilihan reaksi terhadapnya. Atas semua pilihan reaksi yang ada, mengapa kemudian kita memilih menyebar pernyataan tersebut dan melabeli si perempuan ini dengan berbagai julukan daripada mempertanyakan apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita sehingga seseorang bisa berpikir begitu dan tidak malu membaginya dengan 150 teman di Path?

Apa yang disampaikan si perempuan muda ini merupakan pikiran terdalamnya. Saya yakin, masing-masing dari kita pernah memiliki pikiran buruk, misalnya kesal dengan orang tua yang berjalan lambat di depan kita atau kesal dengan anak kecil tak dikenal yang terus menerus menangis. Saya pun yakin, masing-masing dari kita, baik sekali atau beberapa kali, pernah menumpahkan perasaan kita di media sosial. Bukan tidak mungkin kejadian ini, sebuah unggahan spontan di dunia maya yang tersebar ke mana-mana, bisa juga terjadi pada kita. Menganggap bahwa orang hamil tidak perlu mendapat prioritas tempat duduk di kendaraan umum memang tidak bijak. Mengunggah perasaan kita di media sosial tanpa berpikir dulu pun tidak bijak. Tetapi, apakah menyebarkannya ke mana-mana dan menghakiminya juga bijak? Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?

Akhirnya, sebagaimana seorang Indonesia biasa, saya hanya bisa bertanya-tanya dan melempar wacana, tanpa tahu jawabannya. Toh, kalau pun ada jawabannya, saya rasa jawaban dari masing-masing kita akan berbeda. Saya hanya bisa berharap bahwa suatu hari Jakarta bisa menjadi kota yang lebih ramah dan penduduknya bisa menjadi manusia yang penuh cinta. Semoga.

10 thoughts on “Mempertanyakan Nurani Manusia Jakarta

  1. “Bersyukur sekarang sy tinggal di new york….”? Gosh… that says a lot about him, doesn’t it?

  2. Tomas: Hahaha…well, he needn’t say more. Maybe that’s the thing with us Jakartans. So self-oriented and somehow self-righteous, we often forget that other people have the same right, even greater right, to live a good life.

  3. setelah lulus kul, sama seperti temen2 lain, sy ke jkt. baru sebulan sy langsung merasakan kota itu bukan tempat utk manusia. sy segera meninggalkan kota itu. jelas sy lebih bruntung ketimbang banyak orang lain yg merasa tak ada tempat lain utk hidup kecuali di kota itu. mnurut sy masalahnya bukan pada manusianya, namun lebih pada kotanya.

    1. Mencari letak masalah itu, apakah ada di manusianya atau kotanya, rasanya seperti berargumen tentang mana yang keluar duluan, ayam atau telur. Anda benar, Anda memang patut bersyukur bisa hidup di kota lain selain Jakarta 🙂

      1. hayuk kita ketemuan, padasuka mah deket sama rumahku..sms sari udah sampe belum? kalo luang, sari yg mampir ke eka, boleh?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.