Belum pernah rasanya, saya dan pasangan (Si MantanĀ Suami atau pun pasangan-pasangan yang dulu, baik resmi maupun tidak) mendengar sebuah lagu di radio dan tiba-tiba berkata, āYa ampun, ini ākan lagu kita banget.ā Hingga detik ini, saya tidak bisa ingat lagu apa yang diputar saat ciuman pertama saya dan Si MantanĀ Suami di dalamĀ Great CorollaĀ abu-abu, saat hujan sore-sore enam tahun yang lalu. Ketika harus menyusun daftar lagu untuk resepsi pernikahan pun, saya perlu berpikir lumayan lama karena minimnya memori akan sebuah lagu tertentu.
Tapi, saya ingat betul parfum apa yang saya gunakan saat kencan pertama saya dengan Si MantanĀ Suami enam tahun yang lalu.Ā Hugo Boss Intense. Setiap kali mencium aroma manis parfum itu, saya seperti kembali mengenakan setelan kaos putih dan celana jins, baju hangat warna kuning, serta sepatuĀ ConverseĀ buluk andalan saya. Saya seakan berada kembali di beranda Kafe Halaman, menikmati sore hari Kota Bandung sehabis hujan. Duduk berdua dengan laki-laki yang kini telah menjadi mantan suami saya.
Bagaimana otak manusia bekerja; mengolah, merekam, hingga menyajikan kembali potongan-potongan hidup seseorang memang sebuah misteri yang memikat. Dalam kasus saya, bagaimana bisa suatu aroma yang tercium hanya sedetik pun tiba-tiba bisa menjadi tiket pertunjukan kenangan hidup. Bagaimana sebuah aroma tidak hanya memutar kembali sebuah rekaman kehidupan, tapi juga membangkitkan emosi yang melatarbelakanginya.
Celakanya, hal ini tidak hanya terjadi pada adegan-adegan hidup yang manis.Ā Dua bulan yang lalu, saat saya pertama kalinya menginjakkan kaki kembali ke ruangan kantor dari cuti panjang setelah melahirkan, rasanya ingin sekali menangis. Bau lembap AC yang bercampur dengan pewangi ruangan mau tak mau mengantarkan ingatan ke momen terakhir sebelum saya cuti. Momen kehamilan yang berakhir dengan meninggalnya sepasang bayi laki-laki saya yang kembar.
Aroma pun akhirnya bisa menjelma jadi trauma, meski bau busuk tak selalu berkaitan dengan kejadian buruk. Tak jarang tercium wangi makanan yang mengingatkan akan pertengkaran ayah dan ibu, atau harum losion yang terbawa dari masa-masa patah hati. Namun, apa harus melepas hidung dan menutup lubangnya demi menyembuhkan luka? Mengorbankan kesempatan untuk menikmati indahnya wewangian hidup yang lain?
Rasanya tak begitu. Ā Memang butuh waktu untuk kembali menetralkan penciuman dari ingatan. Lalu, akan tiba saatnya untuk menguatkan hidung dan hati, kembali membaui berbagai aroma yang menyakitkan itu. Menerima dengan ikhlas rasa sakit karena menciumnya. Syukur-syukur menciptakan kenangan baru yang lebih indah atau mengenangnya sebagai medali pendewasaan diri.
Karena, tak seperti indera lainnya, tidak semudah itu bersembunyi dari indera penciuman.