Menjadi Mayoritas

Menjadi Mayoritas

Waktu baca2 menit, 57 detik

Baru saja membaca percakapan di media sosial yang cukup membuat dahi saya mengerut. Menanggapi berita pertunangan sesama jenis seorang selebriti, si A (perempuan) bertanya-tanya kenapa lelaki ganteng seperti selebriti itu nggak suka ‘mbak-mbak’. Si B (rekannya yang tidak saya kenal, laki-laki) merespon, yang intinya kira-kira, kalau nggak ada mbak-mbak padahal masih ada janda. Si A kembali membalas yang kira-kira, “Jadi, kamu (si B) sukanya janda?” Si B menjawab, dan ini verbatim, “Kalau stok gadis habis terpaksa yang ada saja.”

Janda adalah ‘yang ada saja’. Yang terpaksa dipilih ketika pilihan lain yang ‘lebih baik’ sudah tidak ada. Ya, janda masih dianggap warga kelas dua. Tersinggung? Tidak, bukan tersinggung. Dua tahun menjanda mengajarkan saya banyak hal untuk tidak tersinggung atas selorohan seperti itu. Sedih, mungkin lebih tepat.

Saya punya privilege untuk hidup sebagai mayoritas di Indonesia. Saya lahir dari ayah Betawi-Sunda dan ibu Jawa, keduanya muslim. Ayah saya, meski berasal dari kelas pekerja, berhasil membawa keluarganya menjadi kelas menengah. Saya bisa sekolah menyelesaikan jenjang sarjana, kemudian menjadi bagian dari pekerja kerah putih hingga sekarang.

Menjanda di usia 27 tahun adalah pertama kalinya saya merasakan sendiri menjadi minoritas. Menjadi warga kelas dua, marginal. Saya pernah bingung mengisi sebuah form, yang pilihan jawabannya hanya ada dua: belum menikah dan sudah menikah. Ketika memperbarui KTP, petugas kelurahan hanya meminta saya mengecek satu data, seakan-akan tidak percaya, status pernikahan saya yang cerai hidup. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan, pandangan mata yang miring, dan hal-hal menyebalkan lain yang tak perlu saya ceritakan di sini, saat orang-orang tahu status saya yang janda.

Percakapan antara si A dan si B biasanya terjadi tanpa sadar. Kemungkinan besar maksudnya berseloroh saja. Memang, tanpa sadar sekelompok orang sering berkelakar tentang kelompok lain yang berbeda, tanpa kepekaan akan kesulitan yang mereka alami. Tentang ras, tentang agama, tentang profesi-profesi informal, tentang gender, tentang pendidikan, tentang suku, tentang autisme, tentang orang-orang yang mengidap OCD, tentang tampilan fisik. Dan banyak, masih banyak lagi. Padahal, sesuatu yang tampaknya ringan bagi kelompok yang satu bisa menyinggung kelompok yang lain.

Jika yang tersinggung adalah kelompok minoritas, kelompok mayoritas bisa dengan ringan berkata, “Ini cuma bercanda. Nggak usah baper.” Minoritas tak punya hak untuk baper. Jika yang tersinggung itu kaum mayoritas? Mayoritas berhak untuk marah dan menyebutnya penghinaan. Jika mayoritas yang merasa terhina punya uang dan kuasa, ah, saya tak perlu jelaskan pun saya yakin Anda bisa membayangkan.

Yang saya rasakan sebagai janda tentu kecil sekali skalanya, apalagi hanya dua tahun saja. Pada akhirnya, saya bisa mengubah kondisi itu dengan menikah lagi. Lalu bagaimana dengan ras, dengan suku, dengan gender, dengan hal-hal yang diberikan Tuhan dan melekat hingga mati? Bagaimana dengan agama, dengan kepercayaan dan hubungan seseorang dengan yang dipercayainya sebagai pencipta?

Menjadi mayoritas bukan sebuah legitimasi atas hal-hal yang baik dan benar. Menjadi mayoritas hanyalah masalah angka dan kekuasaan. Merangkul identitas sebagai mayoritas menunjukkan lemahnya manusia sebagai individu, kebutuhannya untuk menjadi selaras, dan terutama keengganannya menghadapi perbedaan. Menjadi mayoritas telah membentuk zona yang begitu nyaman hingga seseorang di dalamnya tak merasa perlu untuk keluar dari sana, mengakrabkan diri dengan perbedaan, dan memahami perasaan serta pikiran orang-orang yang berada di seberangnya.

Berempati. Menjadi mayoritas membuat orang-orang di dalamnya lupa berempati. Lupa bahwa manusia sedemikian kompleks hingga bukan tak mungkin, si mayor memiliki serpihan identitas, pemikiran, atau perasaan yang serupa dengan si minor. Lupa bahwa pada hakikatnya, tak ada dua manusia di muka bumi yang benar-benar sama hingga perbedaan sebenarnya adalah keniscayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.