Tinggal tiga pertemuan lagi menuju akhir term kelas bermain anak usia dini di salah satu taman kanak-kanak berkurikulum Waldorf di Bandung saat mereka menyorongkan kepadaku sebuah pemidang, jarum sulam, dan selembar kain blacu, kemudian memintaku memilih empat warna benang dari sekumpulan yang ada di sana. Aku memilih hitam, abu, toska, dan biru dongker.
Aku sudah menunggu-nunggu akhir term kelompok bermain anak usia dini ini. Sudah hampir tiga bulan kami–aku dan anakku–berkegiatan tiap Rabu di sini. Kelompok bermain ini mengharuskan anak-anak pesertanya didampingi orang tua setiap sesi. Kukira, sesinya akan interaktif, kegiatan bersama antara anak dan orang tua. Ternyata, bukan begitu.
Saat sesi bermain di luar ruangan, orang tua diharapkan melakukan “kegiatan bermakna” sebagai model bagi anak-anaknya. “Kegiatan bermakna” itu diterjemahkan menjadi bersih-bersih lingkungan di area bermain. Orang tua boleh saja berinteraksi dengan anaknya selama sesi ini, tapi tidak ada kegiatan structured play atau bermain terpimpin. Kupikir, “Lha, kalau begini, apa bedanya dengan kegiatan di rumah?”
Saat tiba waktunya kegiatan dalam ruangan, anak-anak masuk ke ruang bermain khusus dan saling berbaur, sedangkan para orang tua di ruangan sebelahnya diberikan proyek kriya untuk diselesaikan. Anak-anak diperbolehkan untuk bermain dekat orang tua, tapi tetap tidak ada kegiatan yang dikhususkan sebagai sesi interaksi. Anakku, yang memang masih lengket denganku, jadi lebih sering menungguiku menyelesaikan proyek kriya daripada berbaur dengan anak-anak lain. Kalau kata temanku yang mendengar cerita ini, “Semacam homeschooling berjamaah, ya?”
Pemidang 24 sentimeter yang disorongkan kepadaku itu untuk proyek kriya yang ketiga. Yang pertama membuat macrame, yang kedua aku lupa apa. Aku selalu merasa membuang-buang waktu mengerjakan proyek-proyek itu. Tambahan lagi, hari itu aku terlambat sepekan untuk memulai proyek sulaman karena tiga pertemuan sebelumnya kami sekeluarga batuk bergilir, yang malah diakhiri positif Covid-19.
Namun, ternyata proyek kriya kali itu terasa berbeda. Tanpa sadar, aku nyengir. Aku teringat tugas membuat sulaman kristik saat kelas VI SD, satu-satunya persinggunganku dengan sulam-menyulam sebelum hari itu itu. Teringat kain khusus berwarna putih dengan deretan lubang untuk memudahkan membuat sulaman berpola silang. Teringat Eyang Putri menunjukkan taplak yang menghampar di atas meja makannya, sebuah taplak besar bersulam kristik hasil karyanya—sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya, bahwa taplak itu adalah buatannya sendiri. Teringat Eyang Putri mengajarkanku membuat pola kristik seperti yang ada dalam buku pelajaranku.
Aku menggesek-gesekkan kain blacu di tangan dengan kedua jariku.
“Saya harus bikin apa, Bu?” kutanya pada guru anakku.
“Bebas, Bu. Saya juga baru belajar, kok. Buat polanya dulu saja di atas kain, pakai pensil,” ia menyerahkan sebatang pensil kayu pendek kepadaku.
Ingatan tentang taplak kristik, Eyang Putri, dan diriku sendiri yang masih berbalut seragam putih merah, mengerjakan tugas Kerajinan Tangan dan Kesenian itu, begitu kuat. Aku lupa apa yang kubuat untuk tugas kala itu, tapi ingat benar kalau aku begitu menikmatinya. Kain blacu yang kudapat dari Bu Guru bukan kain khusus kristik, jadi aku tak bisa mengerjakan pola sulam silang. Teringat “The Great Wave off Kanagawa”, kugambar pola ombak besar, lalu mulai menyulam asal-asalan dengan pola jahit yang kuingat: tusuk tikam jejak.
Berpuluh-puluh tahun aku selalu bilang kalau aku tak suka menjahit, seperti halnya aku membenci menyeterika. Menjahit kancing lepas saja malasnya bukan main apalagi sampai harus membuat satu jahitan utuh. Saat beberapa temanku mulai belajar merajut, aku cuma mengernyit. “Not my cup of tea,” pikirku selalu.
Hari itu, aku tersadar, bukan aku yang tak suka menjahit. Mama yang tak suka. Dan aku membiarkan perasaannya menguasai diriku hingga menganggapnya sebagai perasaanku sendiri.
Pola ombak itu tak selesai sesuai keinginanku dalam waktu dua minggu yang diberikan sekolah. Aku dan suamiku pun tak merasa klik untuk lanjut menyekolahkan anak kami di sana. Anakku lebih responsif ketika berkegiatan di sekolah lain. Namun, saat tiba tahun yang baru, aku malah menjadikan belajar menyulam sebagai resolusi.
Aku membeli paket sulaman untuk pemula di lokapasar, kemudian mencari pola-pola yang mudah dibuat lewat internet. Aku membeli buku digital berisi dasar-dasar teknik sulam. Dunia yang sungguh-sungguh baru. Mencari-cari benang dengan rona warna yang pas, mencari jarum yang lincah menembus kain, mencari kain yang tak terlampau kaku, tapi tak juga licin saat disulam.
Aku lebih pilih pemidang berdiameter kecil, tujuh sampai 12 sentimeter. Menghindari target yang terlalu ambisius, yang sulit dicapai, dan malah menyerah di tengah jalan. Pemidang kecil memungkinkanku menyelesaikan satu proyek bahkan dalam satu kali duduk. Aku mencoba-coba beragam jenis tusukan, tapi bertahan dengan yang dasar-dasar saja: back stitch, stem stitch, outline stitch, chain stitch. Alasannya serupa, supaya tak terlalu lama berkutat dengan rencana, kemudian kehabisan waktu. Prinsipku, menyulam harus cukup menantang agar tak bosan, tapi tak terlalu sulit hingga hilang kesenangannya.
Saat aku duduk, kain yang meregang di tengah pemidang di tangan kiri dan jarum berbalut benang di tangan kanan, segala yang berada di luar kendali kedua tanganku mengabur. Fokusku mengerucut pada apa yang harus kuputuskan di atas bidang kecil di tanganku: jenis tusukan, warna dan ketebalan benang, arah menyulam. Berserah pada pola yang sudah kubuat, menolak mencemaskan arah gerak tanganku. Mengurai benang kusut kini menjadi harfiah. Keruwetan hidup terejawantahkan pada selembar kain yang diapit pemidang. Dan, segera kutemukan kalau sebagian besar keruwetan itu sesungguhnya akibat kesalahanku sendiri.