Rangkaian tulisan ini ditujukan untuk berbagi pengalaman kami saat mempersiapkan acara pernikahan. Akan ada tiga bagian cerita tentang bagaimana kami menyelenggarakan sebuah acara outdoor bernuansa vintage rustic, tanpa pelaminan. Enjoy!
Hari ketika saya resmi menjadi Nyonya Masrul Arief (bisa disingkat menjadi “Masief” dan ditambah “The” di depannya–seperti cara Melania memanggil Donald Trump–sehingga menjadi “The Masief”) masih menjadi kenangan yang paling menyenangkan untuk diingat-ingat kembali. Setidaknya, hingga tulisan ini diluncurkan. Namun, karena sifat saya yang “agak” obsesif, menghamba pada detail, dan menuhankan kesempurnaan, ada saja hal-hal yang gemas ingin rasanya saya perbaiki–seandainya hari itu bisa diulang kembali.
Selama tiga bulan persiapan, saya dan Masrul telah berulang kali mengunjungi Gaza Mediterranean–sebuah restoran di Bandung yang menjadi lokasi acara pernikahan kami–tapi tak satu kali pun kami lakukan saat cuaca cerah. Baik saat survei perdana, melakukan pemesanan, mengajak ayah saya untuk meninjaunya, bahkan saat berembuk tentang susunan ruang dengan tim dekorasi, semua dilakukan saat langit sedang mendung.
Kami begitu khawatir hujan akan turun. Pemasangan tenda sama sekali tidak menjadi opsi karena akan menimbulkan tambahan biaya. Lagi pula, buat apa mengadakan pesta kebun kalau ujung-ujungnya harus repot ditutupi dengan tenda? Pawang pun bukan opsi yang saya inginkan. Jika hujan dipaksa ditahan, ada dua kemungkinan yang biasanya terjadi. Antara langit menjadi terlalu cerah sampai sinar matahari terasa perih di kulit atau langit mendung tanpa angin sehingga udara terasa gerah.
Niko, teman kami yang akan menjadi host di acara pernikahan kami, mengajukan sebuah ide unik, yaitu meminta para tamu untuk memberi kami hadiah payung kecil alih-alih angpau dan kado-kado lain. Nantinya payung-payung yang terkumpul akan disumbangkan ke tempat-tempat yang membutuhkan. Sayangnya, kala itu tinggal satu minggu menuju hari H dan undangan–sebagai media komunikasi terbaik untuk menyampaikan permohonan itu–sudah tersebar.
Tepat sehari sebelum hari pernikahan kami adalah hari pernikahan adik saya. Yap, betul, keluarga saya mengadakan dua hajatan dalam dua hari berturut-turut. Acara adik saya itu diadakan sore hari dalam keadaan langit mendung, sehingga bukan tak mungkin esok harinya saat acara kami berlangsung pun keadaan langit akan sama. Saya dan Masrul pun pasrah. Kalaupun hujan dan terlanjur basah, ya sudah, mandi sekali.
Datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Dan, bisa tebak bagaimana kondisi langit? Betul, cerah ceria tanpa dosa. Mungkin lebih tepat kalau disebut tanpa ampun daripada tanpa dosa. Acara kami berlangsung dari pukul sembilan pagi sampai pukul 12 siang. Tak ada ruang untuk bersembunyi dari matahari.
Di depan area akad terdapat deretan kursi yang sudah didekor oleh tim Widuri House dan ditata sedemikian rupa agar para tamu dapat menyaksikan jalannya acara akad nikah. Belum lagi akad dimulai, kursi-kursi itu sudah digeser oleh tamu-tamu karena tak terlindungi oleh pepohonan dari sinar matahari. Saat acara sungkeman, yang berlangsung sebelum pukul 10 pagi, saya dan Masrul pun ikut bermandikan terik matahari karena sofa tempat orang tua kami duduk berada tepat di jatuhnya sinar matahari pagi.
Yang paling disayangkan dari begitu teriknya matahari saat acara kami adalah area makan VIP yang gagal digunakan oleh para orang tua dan anggota keluarga lainnya. Area makan VIP ini berada tepat di belakang area sungkeman. Padahal, tim Widuri House sudah menata deretan mejanya dengan begitu cantik. Area makan ini kosong tak terpakai, sampai di tengah acara, beberapa tamu memanfaatkannya sebagai area foto.
Cara lain yang kami lakukan untuk menghemat biaya adalah memproduksi kartu undangan sendiri. Selain lebih hemat, keuntungan lainnya adalah dapat memasukkan berbagai informasi yang kami pikir bisa membantu para tamu untuk hadir dan menikmati acara. Selain kode busana yang sudah lazim, kami juga mencantumkan daftar penginapan, titik-titik kemacetan Bandung pada Minggu pagi, dan pukul berapa acara akad selesai (bagi tamu yang tidak ingin menghadiri akad nikah). Kami merasa sudah begitu detail mencantumkan informasi–dalam Bahasa Inggris untuk teman-teman dan dalam Bahasa Indonesia untuk keluarga. Namun, masih ada saja yang tertinggal. Kami luput mencantumkan aksesori yang sebaiknya dibawa untuk menanggulangi faktor cuaca. Meminta tamu untuk membawa payung kecil dan kacamata hitam tentu bisa membuat mereka lebih nyaman berada di lokasi.
Payung kecil atau kacamata hitam malah bisa menjadi alternatif suvenir yang menarik. Alih-alih menyediakan kedua detail penting itu, kami memberikan sebotol kecil permen cokelat kepada para tamu. Suvenir ini juga kami buat sendiri karena menginginkan suvenir yang bisa dinikmati tamu dari berbagai gender. Maka, permen cokelat menjadi pilihan kami karena bisa dinikmati saat perjalanan pulang.
Cuaca memang faktor yang tak bisa dikendalikan saat mengadakan acara di luar ruangan. Yang punya hajat (baca: orang tua) biasanya lebih meributkan kemungkinan turunnya hujan sehingga semua cara, seperti memasang tenda atau menyewa pawang hujan, dilakukan. Kalau yang terjadi adalah cuaca yang terlalu cerah seperti saat pernikahan kami, pawang hujan saja tidak cukup. Perlu pawang matahari juga, sepertinya. Meski begitu, tetap ada sisi baik dari semburan matahari yang luar biasa pagi itu. Semua foto dan video dari acara kami, baik yang diambil oleh fotografer Ichal Fachri dan tim, maupun oleh para tamu, mendapat pencahayaan yang lebih dari cukup sehingga hasilnya begitu cantik.