Beberapa hari setelah acara pernikahan kami, ada yang menyampaikan sesuatu pada saya. Dia bilang, ada seorang anggota keluarga saya yang berkomentar negatif. “Tanya tuh, sama Eka, apa enaknya makan sambil dijemur matahari begini?” demikian kalimat yang sampai di telinga saya. Saya cuma tersenyum kecut mendengarnya.
Empat bulan sudah berlalu sejak acara kami berlangsung dan kalimat itu adalah satu-satunya tanggapan negatif yang kami dapat. Tamu-tamu lainnya menyampaikan tanggapan yang benar-benar positif. Entah kalau maksudnya sekadar tak ingin menyakiti hati kami, tapi saya memilih untuk percaya kata-kata mereka. Beberapa yang masih lajang atau berencana menikah malah mengungkapkan keinginan untuk membuat acara seperti yang kami langsungkan.
Kemudian, saya tersadar. Tanggapan-tanggapan positif itu datang dari teman-teman kami, yang masih dalam usia muda. Sedangkan, menurut orang yang menyampaikannya, komentar negatif itu datang dari anggota keluarga saya. Hmmm… saya menduga orang ini tentu sudah tidak muda lagi.
Pada cerita pertama, telah saya sebutkan bahwa acara pernikahan saya dan Masrul diadakan tepat sehari setelah pernikahan adik saya. Saya dan adik kebetulan berencana untuk menikah di tahun yang sama, tapi adik saya telah lebih dulu bertunangan dan menentukan tanggal di bulan Mei. Awalnya, ayah saya mengusulkan kalau pernikahan saya diadakan setelah Idul Fitri. Namun, saya pikir hal ini akan menyulitkan keluarga besar yang kebanyakan tidak tinggal di Bandung. Bayangkan, saudara-saudara yang tinggal di luar pulau Jawa harus bolak-balik membeli tiket dalam satu tahun untuk menghadiri acara pernikahan kami. Bisa jadi, karena acara saya yang diakhirkan, akan banyak yang tidak hadir.
Karena rencana acara adik saya jatuh di hari Sabtu, saya mencoba mengajukan kepada keluarga saya untuk mengadakan acara di hari Minggu setelahnya. Pertimbangan pertama, agar keluarga besar, terutama nenek-nenek dari kedua pihak orang tua, tidak perlu bolak-balik ke Bandung. Pertimbangan kedua, kebetulan hari Minggu itu jatuh pada hari lahir mendiang ibu saya. Saya pikir akan menyenangkan untuk tetap merayakan hari itu, tapi dengan alasan yang berbeda. Untung saja, adik, calon adik ipar, dan ayah saya mengizinkan.
Saya dan Masrul segera mendiskusikan berbagai rencana. Dalam skenario terbaik kami, acara dilangsungkan sore hari menjelang malam. Tetapi, jika dipaksakan untuk diadakan Minggu malam, tamu-tamu yang berasal dari Jakarta mungkin akan direpotkan oleh macet saat pulang. Kami pun memilih Minggu pagi. Karena hari sebelumnya telah diadakan acara pernikahan adik yang nuansanya lebih formal, kami merencanakan acara yang kasual dan sederhana. Dan tentunya, beranggaran rendah, agar tidak terlalu membebani ayah saya yang dua kali punya hajat dalam satu akhir pekan.
Konsepnya adalah semacam after party dari acara adik saya dengan suasana santai, sehingga para tamu tak perlu pusing memikirkan busana yang harus digunakan. Mereka hanya perlu datang, makan, dan senang-senang. Rangkaian acara pun dipadatkan. Tiga jam untuk keseluruhan acara, sehingga tak membutuhkan jeda antara akad dan resepsi yang biasanya digunakan pengantin untuk ganti baju dan upacara adat. Pemadatan acara pun bisa memangkas pengeluaran rias, sewa baju pengantin, dan fee pembawa acara.
Gaza Mediterranean kami pilih sebagai venue, selain karena pemiliknya adalah teman Masrul, juga karena arsitekturnya sudah unik dan tak perlu banyak tambahan elemen dekorasi. Dekorasi kami putuskan menggunakan nuansa rustic vintage, selaras dengan suasana Gaza dan tak butuh banyak bunga yang mahal harganya. Untuk menguatkan nuansa kasual, kami tak menggunakan pelaminan. Tambah lagi pos pengeluaran yang dipangkas. Sebagai gantinya, kami yang akan berkeliling menyambut tamu–cara ini kerap disebut sebagai gaya mingle oleh para perencana pernikahan.
Santai, ringkas, tanpa pelaminan. Tentu acara kami tak cocok diadakan di dalam ruangan. Jikapun diadakan di dalam ruangan, lebih cocok diadakan dalam gaya banquet. Itu pun berarti nuansanya formal, bukan kasual. Pesta kebun adalah pilihan terbaik.
Area akad akan menjadi pusat acara menggantikan pelaminan. Karena kami mengundang para tamu untuk menyaksikan akad, tak sopan jika tak menyediakan tempat duduk. Tante Masrul yang tinggal di daerah Sumedang, meminjamkan kami 120 kursi besi kuno berkarat yang sangat mewakili nuansa rustic vintage. Meski tak ada pelaminan, kami tetap butuh satu area lengkap dengan backdrop yang nantinya digunakan sebagai latar belakang foto. Tim Widuri House menawarkan solusi photo corner dengan dekorasi honeycomb, bunga-bunga, dan papan tulis lengkap dengan hand lettering. Kutipan pada papan tulis itu saya pilih sendiri–sebuah kutipan singkat dari Gunawan Maryanto, salah satu penyair favorit saya.
Akan tetapi, seandainya adik saya tak menikah di tahun yang sama, kami bisa memilih waktu yang lain untuk acara pernikahan kami, dan anggaran kami jauh lebih besar, tentu kami tak keberatan membuat dua acara terpisah. Satu acara akad yang formal untuk keluarga besar dan tamu-tamu yang tak lagi berusia muda di pagi hari. Satu lagi, acara resepsi kasual bersama teman-teman dekat di sore atau malam hari.
Tak bisa dipungkiri, acara di luar ruangan memang bukan acara yang cocok untuk orang-orang tua. Keadaan fisik mereka menghadapi cuaca tentu sudah tak sama dengan anak-anak muda. Belum lagi, persepsi mereka sebagai tamu yang harus dijunjung kehadirannya.
Satu hal yang saya sadari akan ketiadaan pelaminan adalah sulit bagi tamu untuk langsung mengenali pengantin dan orang tuanya di tengah kerumunan orang. Dalam kasus kami, sebenarnya sudah disediakan area makan VIP sebagai tempat duduk orang tua untuk menerima tamu. Tetapi, tempat duduk itu tak jadi digunakan karena terkena terik matahari (baca cerita pertama: Mungkin Perlu Pawang Matahari). Akhirnya, orang tua kami membaur dengan para tamu dan tak semua tamu sempat bertegur sapa dengan mereka.
Hal lain yang cukup kami sesali adalah terbatasnya orang-orang yang bisa kami undang. Lagi-lagi karena anggaran yang terbatas. Juga, karena jumlah keluarga besar kami yang lumayan makan tempat. Kami perkirakan, dari pihak keluarga kami berdua saja ada sekitar 200 orang yang diundang. Kami menyisihkan ruang untuk kedatangan mereka meski akhirnya tak semua bisa hadir. Akhirnya, sedih juga karena ada teman yang tak bisa diundang dan kolega yang terpaksa dikeluarkan dari daftar.
Untuk keperluan konsumsi acara, kami telah menambah 100 porsi dari pesanan awal 300 porsi. Yang tersisa sekitar 60-an porsi. Entah karena banyak yang datang atau karena tamu yang ada makan berulang-ulang. Tapi, rasanya sih, memang karena banyak yang datang. Hanya beberapa teman dan keluarga yang mengonfirmasi ketidakhadirannya lewat pesan singkat. Luar biasa rasanya, bahwa teman-teman dan keluarga kami dari berbagai penjuru Indonesia bersedia meluangkan waktu dan hadir di acara kecil kami.
Oh ya, kami tak menggunakan buku tamu. Gantinya, ada photo booth di samping meja penerima tamu yang digunakan untuk memotret tamu-tamu yang datang. Mereka terlebih dahulu diminta menuliskan pesan untuk kami. Tak semua yang datang ikut berfoto, sih. Ada yang bilang, karena antri dan buru-buru pulang. Yang ikut berfoto meninggalkan pesan dan pose-pose lucu. Dan akhirnya, photo booth itu malah jadi tempat tante-tante dan bude-bude saya foto narsis.
Saya dan Masrul adalah sepasang manusia yang overthinking, overanalyzing, and fastidious. Merriam-Webster Dictionary punya definisi yang tepat untuk fastidious. Silakan lihat sendiri. Sebuah keputusan yang kami hasilkan telah melalui pertimbangan dari berbagai dimensi dan perdebatan panjang dengan berbagai argumentasi. Dan kami sama-sama sadar penuh bahwa sebagus dan selancar apa pun sebuah acara pernikahan berlangsung, akan tetap ada pihak yang tak terpuaskan.
Pada akhirnya, kami sepakat bahwa acara ini harus mencerminkan kepribadian kami dan bisa kami nikmati. Kami percaya, acara yang kami kerjakan sendiri ini bisa dinikmati oleh orang-orang yang kami cintai. Satu komentar negatif tak mengalahkan seluruh komentar positif yang kami terima.
Saat sedang bersiap-siap sebelum acara dimulai, seorang tante saya memasuki ruang rias pengantin dan berkata, “Eka, dekorasinya keren! Romantis sekali!” Romantis. Sebuah kata yang bahkan tak terlintas dalam benak saya. Satu kata itu menandakan ada kesan yang dirasakan olehnya. Dan satu kesan itu sudah cukup bagi kami untuk bersyukur telah berbagi kebahagiaan di hari itu.