Sepengetahuan saya–sepengetahuan saya lho, nggak tahu juga kalo ada orang lain yang lebih tahu–saya nggak pernah punya masalah dengan adaptasi.
Saya lahir di Kalimantan Tengah, pindah ke Bandung umur 2 tahun, kemudian pindah ke Bekasi sebelum umur saya menyentuh 5 tahun. Di umur 11 tahun, ketika saya kelas 5 SD, saya kembali pindah ke Bandung. Pindah rumah, pindah sekolah, meninggalkan teman-teman baik saya yang berlusin-lusin di Bekasi, dan jadi orang asing yang tidak bisa berbahasa Sunda di ruang kelas. Setahun kemudian, kembali jadi anak baru di SMP, lalu anak baru di SMA, lalu di kampus, lalu di kantor yang kemarin, lalu sekarang, tiba-tiba adaptasi jadi sesuatu yang menyakitkan.
Dan, perlu diketahui, saya ini, ehm, tidak terlalu terbiasa hidup bergerombol. Independen, kalau ga mau dibilang individualis. Saya yakin ada korelasinya antara sering hidup berpindah-pindah, terlalu terbiasa beradaptasi, lalu jadi individualis, sampai akhirnya jadi sulit beradaptasi; walaupun mengusut di mana letak si korelasi itu mungkin sama ruwetnya dengan mengurai benang kusut.
Saya ingat, sedari kecil, saya nggak bakat punya geng. Saya ini si kutu loncat. Teman-teman dekat saya terdiri dari sekumpulan orang dari kelompok yang acak, kadang tidak saling mengenal, bahkan pada sebuah kasus ketika saya SMA, tidak saling menyukai satu sama lain. Nah lho.
Dulu, saya iri sama mantan pacar saya. Kok bisa-bisanya, seorang laki-laki punya tiga orang sahabat dekat yang sudah kenal sejak SMP sampai berumur seperempat abad. Bahkan sampai saat ini, ketika umur mereka sudah menyentuh kepala tiga. Sedangkan, saya, perempuan tulen, ‘hanya’ menyimpan suvenir empat orang sahabat dari masa SMA yang baru berlalu enam tahun saja.
Kemudian sekarang, setelah berbelas tahun dengan bangganya saya berusaha hidup tak tergantung pada orang lain, bertahan hidup dengan beradaptasi dari satu lingkungan ke lingkungan lain, kenapa tiba-tiba sulit sekali melakukan dua hal tadi secara bersamaan?
Ketika memasuki lingkungan baru ini, ternyata ada satu hal yang tidak disebutkan dalam pasal demi pasal kontrak perjanjian. Satu hal, yang jika saya tahu akan jadi sesulit ini, akan membuat saya berpikir ribuan kali sebelum menandatangani kontrak itu. Ternyata di sini, untuk bertahan hidup, saya harus bergantung pada orang lain.
Saya, si elang angkuh yang selalu terbang sendiri, sekarang harus berjalan bergerombol seperti bebek, bersama para bebek.
Seperti yang saya bilang tadi, semua itu tidak tertulis secara tegas. Tapi, ketika sebentar saja saya melepaskan diri dari barisan bebek, untuk sedikit merasa kembali menjadi diri sendiri, banyak mata yang memandang saya aneh. Suatu ketika, seorang instruktur berkata, “Anda tidak dinilai dari kemampuan berkompetisi tapi bekerja sama.” Tapi apakah bekerja sama ini lalu berarti bekerja bergerombol, mengerjakan pekerjaan yang sama? Apakah berusaha dengan tangan sendiri tanpa merepotkan orang lain menjadikan saya egois? Apakah melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dari orang lain adalah tanda-tanda ketidakberhasilan?
Saya tidak tahu. Dua puluh tahun lebih saya hidup seperti elang, sekarang saya harus hidup seperti bebek. Di antara para bebek. Berlatih menjadi bebek dalam hitungan bulan. Berusaha keras menahan hasrat untuk kembali terbang sendiri. Sebegitu keras, sehingga terkadang saya ingin melampiaskan kekesalan dengan memakan salah satu dari bebek-bebek itu. Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
Di antara seratus orang, mana yang aneh, satu orang yang berbeda atau sembilan puluh sembilan orang lainnya yang sama? Itu ibarat berada di mesin treadmill. Untuk tetap berada diatas mesin treadmill itu, elu harus tetap berlari. Kalau lu diam nggak ikut berlari, justru elu yang terpental.
—Bubin Lantang
Kisah Langit Merah (Gagas Media, 2009)