Diam Bukan Berarti Mengizinkan

Diam Bukan Berarti Mengizinkan

Waktu baca12 menit, 25 detik

Terungkapnya pelecehan dan kekerasan seksual oleh beberapa figur publik selama setahun terakhir memaksa saya melihat ke belakang. Memutar kembali pengalaman-pengalaman interaksi dengan berbagai laki-laki di hidup saya. Di rumah, di sekolah, di tempat kerja. Dengan anggota keluarga, mantan-mantan pacar, teman-teman, sampai atasan.

Saya mengamati semuanya dengan lebih lekat. Setiap godaan verbal di jalan, rangkulan di pundak, tepukan di paha, rayuan kasual, hingga lelucon bernada seksual. Apakah semua itu terundang? Nyamankah saya dengan perlakuan-perlakuan itu?

Apakah dengan membiarkannya berarti saya nyaman? Apakah dengan diam berarti saya mengizinkannya? Mengapa saya membiarkannya? Mengapa saya merasa hal-hal itu lazim dan termaafkan? Mengapa saya, sebagai perempuan heteroseksual, merasa tak patut membicarakannya?

Ingatan itu tertarik sampai titik terjauh yang bisa saya sadari. Peristiwa yang terjadi saat saya duduk di bangku SD sampai SMP, tapi baru beberapa tahun terakhir muncul kembali di ingatan. Kejadian yang, sampai saat menuliskan ini, tak sampai sepuluh orang di sekitar saya mengetahuinya. Papa, ayah saya, bukan satu di antaranya. Juga Mama, ibu saya, yang meninggal tanpa sempat saya berani menceritakan kepadanya.


Dua puluh empat tahun lalu, ayah dan ibu saya menjadi orang tua asuh dari seorang anak laki-laki. Usianya enam tahun lebih tua dari saya. Sebut saja dia Kecoak.

Kalau saya tidak salah ingat, dia dikenalkan pada kedua orang tua saya oleh seorang tukang bangunan yang mengerjakan renovasi rumah kami di Bekasi. Asalnya dari Subang, saya ingat betul. Kami sekeluarga pernah mengantarnya pulang kampung dan sowan ke rumah keluarganya.

Awalnya, dia diajak ke Bekasi untuk bekerja. Sudah lebih satu tahun dia putus sekolah. Setelah lulus SD, orang tuanya tak lagi mampu menyekolahkan. Jadi, sewaktu datang ke rumah kami, usianya sekitar 14 tahun.

Saya tak pernah tahu pasti bagaimana orang tua saya sampai pada keputusan untuk menyekolahkannya, dari jenjang SMP sampai SMK, dan mengajaknya tinggal di rumah kami. Sepulang sekolah, dia membantu Mama-terkadang mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau mengajak main adik laki-laki saya yang masih balita. Tapi, membantu pekerjaan rumah tangga tak pernah jadi tanggung jawab penuh. Kami selalu punya satu orang asisten rumah tangga yang khusus mengerjakan itu.

Adik saya cukup dekat dengannya. Jadi saya juga menganggapnya seperti seorang kakak. Karena dia sudah duduk di bangku SMP, saya juga memperlakukannya sebagai tempat bertanya tentang pelajaran sekolah.

Rumah kami di Bekasi berlantai dua. Papa dan Mama menyediakan kamar kecil di lantai atas untuk ditinggali si Kecoak. Sedangkan kamar orang tua saya, kamar adik saya, dan kamar saya sendiri berada di lantai bawah. Letak ketiganya berjajar dan terkoneksi satu sama lain. Hanya ada satu akses dari area publik di rumah ke area kamar kami, yakni lewat pintu geser di kamar adik saya, yang letaknya di tengah ketiga kamar.

Di rumah itu, hanya ketiga kamar kami yang dialiri udara dari AC. AC dipasang di kamar orang tua saya, lalu alirannya diteruskan ke kamar saya dan adik menggunakan exhaust fan. Karena ketiga kamar itu berbagi AC, kamar orang tua saya maupun kamar saya sendiri tak pernah ditutup rapat ketika malam hari. Yang perlu ditutup hanya pintu geser di kamar adik saya.

Kalau saya tak salah ingat, saat itu Papa sudah berdinas di Singkawang, Kalimantan Barat. Jadi sebenarnya, selain si Kecoak dan satu asisten rumah tangga, sehari-hari hanya ada kami bertiga di rumah itu: Mama, saya, dan adik saya. Papa pulang ke Bekasi hanya dua-tiga bulan sekali karena keterbatasan pendapatan sebagai PNS. Kami pun tak diboyong dengan alasan kualitas sekolah formal yang lebih baik di Pulau Jawa daripada di Kalimantan saat itu.

Pada suatu malam, saat saya kelas empat atau lima SD–saya tidak ingat betul–saya terbangun di tengah tidur. Saya mendapati si Kecoak berbaring di lantai kamar, tepat di sebelah tempat tidur saya. Ia tidak tidur. Saya yang terkejut bertanya kepadanya, kenapa ia ada di situ? Dengan berbisik dia bilang, udara kamarnya di lantai atas sedang panas. Jadi ia ingin ikut ngadem sebentar di kamar saya. Dia minta agar saya tidak melaporkannya kepada kedua orang tua saya.

Apakah itu pertama kalinya dia masuk ke kamar saya? Ataukah pernah sebelumnya? Saya tidak tahu, dan tidak menanyakan.

Dengan mudah saya menerima alasan itu. Saya kembali tidur karena saya pikir, wajar saja kalau dia kepanasan di kamar dan ikut tidur sebentar di kamar saya. Toh, sudah lebih dari satu tahun dia tinggal bersama kami dan saya menganggapnya bagian dari keluarga.

Setelah malam itu, setidaknya ada dua malam lagi yang saya ingat saat dia masuk ke kamar saya.

Pada salah satu dari dua malam itu, saya terbangun karena merasakan ada yang meraba-raba betis saya, yang keluar dari balik selimut. Saya tidak serta merta terbangun. Saya lupa apakah saya menarik kaki saya kembali masuk ke selimut atau tidak. Ketika saya perlahan membuka mata, rabaan itu berhenti. Saya pun melihat punggung si Kecoak sedang membuka pintu geser di kamar adik saya, lalu keluar.

Entah selang berapa malam sejak itu, saya terbangun kembali. Ini malam ketiga yang saya ingat. Kali ini lebih sadar dari sebelumnya. Ada tangan yang kembali meraba-raba betis sampai paha saya. Saya tahu itu siapa. Tapi saya tidak berani berbuat apa-apa. Saya tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan dan untuk apa dia melakukannya. Dan saya tidak berani berteriak atau apa pun, yang berisiko mengganggu tidur orang tua saya. Jadi saya tetap memejamkan mata, pura-pura tidur dalam kebingungan saya.


Tahun 1997, kami sekeluarga pindah ke Bandung. Tepatnya Mama, saya, adik saya, dan si Kecoak. Ayah saya masih berdinas di Kalimantan. Kami pindah karena Mama ingin lebih dekat dengan orang tuanya di Bandung.

Tahun kepindahan itu adalah tahun kenaikan saya dari kelas lima ke kelas enam SD. Tinggal satu tahun lagi menuju SMP. Karena sudah punya banyak teman dan begitu kerasan di Bekasi, saya sebenarnya memohon untuk tidak pindah, setidaknya sampai kelulusan sekolah. Tapi Papa dan Mama menolaknya.

Saat itu si Kecoak sudah lulus SMP. Menurut Papa dan Mama, akan lebih repot jika dia didaftarkan sekolah SMA di Bekasi kemudian harus pindah saat kelas dua. Dan kedua orang tua saya tidak mau dia menunda sekolah lagi.

Akhirnya mereka meminta saya untuk mengalah dan pindah sekolah. Saya pun menghabiskan setahun terakhir SD di sekolah baru yang asing. Harus beradaptasi dengan teman-teman baru hanya untuk kembali pindah sekolah ke SMP setahun kemudian.

Di Bandung, si Kecoak didaftarkan orang tua saya ke salah satu SMK di bilangan Buah Batu. Supaya dia punya kemampuan yang siap digunakan bekerja, menurut Papa dan Mama.

Saya tak banyak mengingat apa yang terjadi di antara saya dan dia pada tahun-tahun itu. Yang jelas, setelah beberapa kali dia masuk ke kamar saat masih di Bekasi, saya menarik diri darinya. Mengobrol seperlunya, pun tak bermain bersama dia dan adik saya. Saya juga tak lagi menganggapnya seperti kakak. Saya mulai merasa dia menipu Papa dan Mama dengan pura-pura jadi anak baik-baik.

Dua tahun kemudian, saya sudah duduk di kelas dua SMP dan si Kecoak kelas 3 SMK. Menunda sekolah setahun lebih membuatnya lebih tua dari teman-teman sekelasnya. Usianya saat itu sekitar 19 tahun.

Pindah ke Bandung yang udaranya lebih sejuk, dia tak punya alasan lagi untuk menumpang ngadem di kamar saya. Saat itu, saya dan adik pun sudah tidur di dua kamar yang benar-benar terpisah.

Suatu hari, sepulang sekolah, saya mandi sore. Masa SMP adalah saat di mana saya sedang senang mandi berlama-lama. Entah apa saja yang saya lakukan di dalam kamar mandi, saya sudah lupa. Yang saya ingat, sore itu di dalam kamar mandi, saya membalikkan badan, dari membelakangi jadi menghadap pintu. Ketika berbalik, pandangan saya melewati lubang ventilasi di atas pintu kamar mandi. Saat itulah saya melihatnya, sepasang mata yang sedang menonton saya mandi. Kami bertatapan selama sepersekian detik lalu dengan cepat mata itu turun, menghilang di balik kisi-kisi ventilasi.

Saya pun tersentak sadar bahwa sore itu saya hanya berdua dengan si Kecoak di rumah. Mama dan adik saya sedang pergi entah ke mana, saya tidak ingat. Sepasang mata itu tak lain adalah milik si Kecoak.

Saya sempat terdiam, tak bisa melakukan apa pun selama beberapa saat. Semua perasaan campur aduk jadi satu. Marah, malu, takut. Saya tak berani menangis, tak berani mengeluarkan suara. Mau keluar kamar mandi pun takut. Saya takut kalau-kalau saya keluar dari kamar mandi, dia akan menyergap kemudian memperkosa saya. Itu adalah pertama kalinya saya sadar ada laki-laki lain selain anggota keluarga yang melihat tubuh saya tanpa busana. Dan tanpa persetujuan dari saya.

Ketakutan akan perkosaan memang tak terbukti, tapi kejadian sore itu adalah awal dari ketakutan saya selama berbulan-bulan di rumah orang tua saya sendiri. Ingatan akan malam-malam dia menyambangi kamar saya pun bangkit kembali. Baru kali itu saya mengerti kenapa dia ada kamar saya berkali-kali dan merabai betis serta paha saya.

Berapa kali dia masuk ke kamar saya tanpa izin di malam-malam saat saya tidak terbangun? Apa yang sebenarnya dia lakukan ketika saya tidur tahun-tahun itu? Hanya merabakah, menontonkah, atau masturbasikah?

Saya tidak berani bercerita kepada siapa pun. Tidak kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya, tidak juga kepada teman-teman. Siapa yang akan percaya? Seorang anak laki-laki dari kampung, yang rajin solatnya, fasih mengajinya, rajin pula membantu orang tua asuhnya, masa bisa melakukan semua itu?

Lagi pula, apa pentingnya? Bukankah itu sekadar kenakalan remaja saja? Bukankah lumrah kalau anak laki-laki remaja punya keingintahuan seksual? Dia bukan satu-satunya remaja laki-laki yang mengintip perempuan mandi dan saya jelas bukan satu-satunya anak perempuan yang diintip saat mandi kan?

Tapi saya merasa begitu terancam. Orang itu tinggal di bawah atap yang sama dengan saya. Ayah saya begitu sayang dan bangga dengannya. Dan saya, anak perempuan yang dididik dengan peran-peran gender yang konservatif–bahwa perempuan harus menjaga “kehormatannya”, bahwa laki-laki yang berhak melihat tubuh telanjang saya hanyalah yang menjadi suami saya–kehilangan semua itu. Saya merasa nilai saya sebagai anak perempuan habis sudah, diambil pengkhianat yang tidur di kamar belakang rumah.

Rumah tak lagi jadi tempat yang aman. Sejak sore itu, tiap kali masuk kamar, saya langsung mengunci pintu. Kebiasaan yang sangat tidak disukai Mama. “Kenapa sih, pintunya harus dikunci? Memang ada apa?” begitu Mama selalu bertanya.

Setiap kali akan ganti baju, mata saya tak lepas memandang ventilasi di atas pintu kamar, takut-takut dia ada di sana, kembali menonton tubuh saya tanpa izin. Juga ketika tidur. Saya selalu berkali-kali memastikan pintu sudah terkunci dan mata saya awas mengamati ventilasi di atas pintu, sampai akhirnya kelelahan sendiri dan jatuh tertidur.

Saya sama sekali berhenti bicara kepadanya. Kalau sekiranya Mama tidak akan ada di rumah ketika saya pulang sekolah, maka saya tidak akan langsung pulang. Hampir setiap hari saya menghabiskan waktu pulang sekolah, entah di perpustakaan sekolah, di Gramedia, atau taman bacaan Hendra. Ketika hari sudah sore dan saya yakin tidak akan terjebak di rumah berdua saja dengannya, barulah saya pulang.

Keadaan itu berjalan selama beberapa bulan, sampai suatu hari, Mama bertengkar hebat dengan si Kecoak. Saya tidak tahu–dan tidak mau tahu–tentang apa. Pertengkaran itu berakhir dengan Mama mengusirnya dari rumah. Mama bilang, ia tidak mau lagi melihat si Kecoak tinggal bersama kami.

Papa mencoba mencegahnya. Kelulusannya tinggal beberapa bulan lagi, kata Papa. Tapi tidak berhasil. Mama ingin dia pergi malam itu juga. Dan segera, saya merasa ada beban berton-ton yang terangkat dari dada saya.

Saya tak lagi khawatir ada yang mengintip setiap kali ganti baju atau mandi. Tak perlu juga kelayapan setelah pulang sekolah agar tak perlu bertemu dia. Tak perlu takut dia masuk ke kamar dan memperkosa saya setiap menjelang tidur. Ancaman itu telah pergi.

Baru beberapa bulan setelah itu saya tahu bahwa kepergiannya tidak berarti bantuan Papa untuknya berhenti. Papa mencarikannya kamar kos di dekat sekolah dan tetap membiayainya sampai ia lulus SMK.

Saat saya SMA dan kami sudah pindah ke rumah baru, dia pernah mengunjungi kami. Saya ada di rumah, tapi enggan menemuinya. Beberapa tahun lalu, dia juga mengirim permintaan berteman lewat Facebook. Saya menolaknya. Selama bertahun-tahun, dia tak merasa perlu meminta maaf atas apa yang pernah dia lakukan, maka saya pun tak merasa perlu berhubungan dengannya.


Apa yang terjadi kepada saya mungkin begitu kecil dibandingkan dengan apa yang terjadi pada para penyintas pelecehan dan kekerasan seksual yang lain. Di luar sana, banyak yang menanggung momok yang lebih besar dari ini.

Namun, menceritakan hal sekecil ini pun ternyata tidak mudah bagi saya. Selama belasan tahun, alam bawah sadar saya seakan berusaha menghapus ingatan ini. Menjejalkannya di sudut gelap kepala, membiarkannya terkubur debu-debu waktu.

Semua memori ini baru muncul kembali beberapa tahun lalu, saat proses perceraian saya dengan suami pertama. Kenapa justru muncul berbarengan dengan fase hidup itu? Entah, saya juga tak mengerti.

Lalu, perlahan-lahan saya memberanikan diri untuk memutarnya kembali–merasakan kembali perasaan takut dan marah yang pernah muncul. Ketika suatu kali saya memberanikan diri bercerita kepada Om dan Tante, adik Mama, mereka begitu tercengang. Kenapa nggak bilang ke Mama atau Papa? Tanya mereka.

Saya pikir, apa mereka bakal percaya? Mereka selalu memandang si Kecoak sebagai anak kampung yang soleh, kok. Buat apa juga? Paling hanya dianggap kenakalan remaja yang lumrah terjadi. Dan ketika saya bilang bahwa kejadian itu sempat membuat saya ketakutan setengah mati, apa saya tidak akan dianggap berlebihan?

Saya kembali menimbang-nimbang, apa memang perlu membagikannya kepada orang banyak? Tidakkah hanya membuat saya terlihat membesar-besarkan hal kecil?

Lalu, bulan September lalu, kasus hakim Brett Kavanaugh, yang melakukan kekerasan seksual terhadap Dr. Christine Blasey Ford saat masih SMA, muncul ke permukaan. Kavanaugh memang tidak memperkosa Dr. Ford. Ia bahkan belum juga berhasil melucuti pakaian Dr. Ford.

Tapi saya tahu rasa terancam yang dialami Dr. Ford. Saya tahu bagaimana ketakutan itu pernah menguasai saya. Saya juga tahu bagaimana pengalaman itu membentuk respons saya atas perbuatan-perbuatan yang berpotensi melecehkan.

Jika kehilangan keperawanan karena jatuh dari sepeda dianggap hukuman sosial seumur hidup, mengapa anak laki-laki yang merabai dan mengintip anak perempuan tidak diberi hukuman sosial seumur hidup juga? Kenapa apa yang dilakukan Brett Kavanaugh atas Christine Blaisey Ford bisa dimaafkan atas nama kenakalan remaja?

Saya mengambil risiko itu. Risiko terlihat membesar-besarkan hal kecil. Justru karena ini kecil, saya ingin memberanikan diri untuk memulai percakapan tentang pelecehan dan kekerasan seksual.

Kejadian-kejadian kecil yang dilumrahkan bisa menjadi awal kejadian-kejadian yang lebih besar. Pemaksaan tindakan seksual saat pacaran, pelecehan di tempat kerja, bahkan seks non-konsensual dengan pasangan. Itu semua bisa terjadi karena perempuan dilumrahkan untuk menerima tindakan-tindakan itu. Bahwa laki-laki, dalam segala usia, diwajarkan untuk bertindak begitu dengan dalih sebagai bagian proses kedewasaan. Perempuan berhak untuk melawan sekecil apa pun sentuhan, perkataan, bahkan tatapan yang diberikan laki-laki ketika tidak menginginkannya dan tidak merasa nyaman dengannya.

Bahkan ini sesungguhnya tidak terbatas pada perempuan. Laki-laki pun bisa menerimanya, baik dari perempuan maupun laki-laki yang lain. Tidak sedikit anak laki-laki yang pernah menerima kekerasan seksual dari orang-orang di sekitarnya. Salah satunya adalah teman saya sendiri.

Sekecil apa pun, pelecehan tidak pantas dilumrahkan. That is not okay. Never okay.

Silence is not consent. Diam bukan berarti mengizinkan.


Photo by Erwan Hesry on Unsplash

One thought on “Diam Bukan Berarti Mengizinkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.