Saya tak mau menyalahkan 2014 atas semua yang terjadi selama itu, karena mungkin yang patut disalahkan adalah 2013. Atau bisa jadi, semua itu gara-gara tahun-tahun sebelum 2013.
Tahun 2013 saya mulai di sebuah kamar kos, sendirian. Sebuah pertengkaran besar membawa saya keluar dari rumah dua hari sebelum malam tahun baru. Pertengkaran yang kemudian muncul kembali sepuluh bulan kemudian, disertai selembar surat permohonan talak.
Every new beginning comes from some other beginning’s end. Begitu kata Semisonic. Bagi saya, tahun 2014 berawal dari berakhirnya sebuah pernikahan. And the beginning is always the hardest. Begitu yang saya pernah dengar, entah dari siapa. Karena bukan mengakhiri pernikahan yang begitu sulit, tapi memulai hidup baru setelahnya yang begitu menguras energi. Sebuah kehidupan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Jika sekarang ini saya bisa berhadapan dengan diri sendiri yang berumur 13 tahun, entah bagaimana harus menjelaskan kepadanya, bahwa empat belas tahun kemudian ia akan kehilangan bayinya, pernikahannya, pekerjaannya, dan–hampir saja–harapannya.
Saya kehilangan sepasang bayi kembar satu tahun empat bulan sebelum dia pergi dari rumah. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah empat tahun saya jalani, dua minggu sebelum surat permohonan talak itu datang. Pengunduran diri yang sejatinya saya lakukan untuk menyelamatkan pernikahan yang tidak dapat lagi terselamatkan.
Harapan terasa seperti sesuatu yang mustahil untuk dimiliki, apalagi dijadikan pegangan. Hanya saja, saat itu pilihan saya terbatas; antara meneruskan hidup dengan berpegang pada benda tak kasat mata bernama harapan atau memilih tak percaya bahwa harapan itu ada lalu mengakiri semuanya. Ya, semuanya.
Tentu, saya tak serta merta memilih yang pertama. Saya beberapa kali berdiri di jembatan penyeberangan, berpikir untuk terjun ke jalan, tapi kemudian sadar bahwa cara itu hanya akan membuat saya berakhir jadi headline tabloid Lampu Hijau. Lalu saya minum paracetamol empat butir sekaligus. Ternyata efeknya hanya membuat saya tidur pulas. Mungkin kurang banyak. Ketika akhirnya saya menempelkan mata pisau pada pergelangan tangan kiri, saya jadi teringat seorang teman SMA yang tak mampu melanjutkan mengiris nadi di toilet sekolah karena ternyata rasanya sakit. Ah, kalau gagal kan malah bikin malu diri sendiri.
Saya menyerah. Tahun 2014 pun saya awali dengan mengambil pilihan: meneruskan hidup dengan bergantung pada harapan bahwa semua akan baik-baik saja. Sayang, kala itu saya belum tahu perbedaan antara berharap dan berekspektasi.
Oh, tentu, berharap dan berekspektasi itu dua hal yang berbeda. Pada harapan, kita menginginkan terjadinya sebuah kondisi tertentu dengan memberi ruang akan hal-hal tak terduga, hal-hal di luar rencana – atau malah di luar akal sehat – namun tetap menimbulkan perasaan yang sama atau lebih baik dari yang kita inginkan. Tapi ekspektasi… oh, ekspektasi…. Ekspektasi itu membunuh. Membunuh dengan cara yang jauh lebih kejam dari rasa penasaran. Ekspektasi membuat kita menginginkan sesuatu dalam bentuk, waktu, dan cara yang tepat seperti kehendak kita. Lalu, ketika semua itu tidak terwujud, yang tersisa hanya kecewa.
Saya pikir, saya mengawali 2014 dengan berpegang pada harapan. Ternyata, sebenarnya saya berpegang pada ekspektasi. Saya mendikte Tuhan untuk membuat hidup saya tepat seperti apa yang saya kehendaki. Berekspektasi bahwa saya bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan bergaji sama persis dengan yang saya terima di perusahaan sebelumnya. Bahwa sidang perceraian saya bisa berakhir dalam waktu singkat, dengan dia membayar semua hak-hak dan tuntutan material saya. Bahwa di akhir sidang perceraian, saya bisa memulai sebuah hubungan baru dengan seorang laki-laki yang saat itu, tiba-tiba hadir menemani saya melalui hari-hari terburuk.
Saya seperti seorang anak manja yang meminta dibuatkan jus dari jeruk mandarin, yang dipetik tepat saat bulan purnama, diperas satu hari dua jam lima menit dua belas detik setelah dipetik, disaring menggunakan kain sutra, dan diberi gula aren dua sendok teh serta es batu yang sudah didiamkan di lemari es selama dua hari dua malam. Ketika tak dipenuhi, saya marah dan mengutuk semua benda hidup maupun benda mati di sekitar saya.
Semua terasa buntu. Sampai akhirnya saya diingatkan oleh psikolog saya, “Kamu ini sedang menikmati jadi orang paling tidak beruntung di dunia. Kamu begitu tenggelam dalam kesedihan, sampai kamu lupa bersyukur.”
Dulu sekali, saya pernah tahu cara mensyukuri hidup. Meski gaji tak tinggi, karier tak gemilang, tinggal di kamar kos sempit, saya pernah tahu bagaimana caranya. Lalu cobaan demi cobaan datang dan saya berhenti melakukannya.
Bersyukur, kemudian menjadi hal yang sulit, bahkan hampir mustahil dilakukan. Tapi Tuhan begitu baik hati; memberi jalan melalui seorang teman yang mengelola sebuah organisasi relawan. Saya ikut salah satu aktivitasnya, membersihkan rumah singgah anak-anak penderita kanker. Di sana, saya malu. Memiliki kesempatan hidup walau satu hari – yang dengan mudahnya saya habiskan dengan menangisi ketidakberuntungan saya – ternyata bisa menjadi sebuah keajaiban bagi anak-anak itu.
Saya mulai bisa kembali bersyukur – sekecil apa pun, sesulit apa pun – dan hal-hal baik mulai terjadi. Satu per satu panggilan wawancara datang. Seorang kerabat yang berprofesi sebagai dosen hukum datang membantu menangani perceraian saya. Sampai pada suatu hari, saldo rekening saya tiba-tiba bertambah dalam jumlah yang luar biasa. Ternyata, itu adalah bonus atas sepuluh bulan terakhir masa kerja dari perusahaan yang saya tinggalkan.
Kemudian datang tawaran kerja dari seorang teman. Hingga akhirnya, tanpa disangka, datang tawaran kerja dari perusahaan jaringan toko buku dan penerbit. Bekerja bersentuhan dengan industri buku dan dunia kepenulisan. Sesuatu yang seharusnya sudah saya lakukan bertahun-tahun lalu.
Kalau tak kotor, maka tak belajar. Begitu kata iklan deterjen. Tahun 2014, dengan semua rentetan kejadian itu sebenarnya bukan tahun yang buruk. Malah, tahun itu memberikan saya kesempatan untuk banyak belajar, memperbaiki kesalahan yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya, dan perlahan menata hidup.
Ketika beberapa bulan lalu seorang teman membacakan ramalan kartu tarot untuk saya, ia bertanya, “Lo lagi jatuh cinta ya, Ka?” Saya tertawa. Saya sama sekali tidak sedang jatuh cinta dengan siapa pun. Lalu, ia mengoreksi hasil pembacaannya bahwa, “Dari kartu-kartu ini lo terlihat bahagia dan merasa dicintai.” Ah, kalau itu sih, betul.
Saya merasa sangat dicintai, tidak oleh satu orang yang khusus, tapi oleh berbagai macam orang di sekitar saya. Oleh teman, oleh keluarga. Oleh orang-orang yang telah saya kenal sepanjang hidup maupun baru saya kenal tahun itu. Oleh orang-orang yang masih hadir dan oleh mereka yang telah pergi. Saya merasa begitu dilimpahi cinta, melebihi dari yang pernah saya dapat dari sebuah pernikahan. Cinta, energi luar biasa yang menguatkan dua kaki saya untuk berdiri kembali. Dan setiap individu memiliki peran masing-masing dalam memberikannya; yang unik, yang memiliki tempat tersendiri di hati saya.
Hidup tetap berjalan. Tantangan tetap datang. Tahun 2015 tidak serta merta menjadi tahun yang akan saya lalui dengan lancar jaya, bak jalan tol Jagorawi pada pukul dua dini hari (saat hari kerja, bukan akhir pekan). Masih banyak yang akan saya lalui di tahun ini. Ibu saya sedang berjuang melawan kanker paru-paru. Tabungan dan investasi saya ludes untuk biaya hidup, sedangkan masih ada hutang kartu kredit yang masih saya angsur. Belum lagi masih harus memperjuangkan status pegawai tetap sambil beradaptasi dengan lingkungan yang tidak mudah di kantor baru. Tambahan lagi, menurut perkiraan para ahli ekonomi, tahun ini akan diwarnai banyak tantangan dari kenaikan BBM dan TDL, penguatan dolar akibat bangkitnya ekonomi AS, penurunan daya beli, hingga pelambatan pertumbuhan ekonomi (ternyata tidak mudah ya, melepaskan diri dari ‘agama’ ekonomi).
Tapi, apa pun yang akan terjadi, saya yakin semua akan baik-baik saja. Semua yang akan saya lalui tahun ini akan mengajarkan lebih banyak hal. Setidaknya, saya sudah bisa berdiri dengan sepasang kaki yang lebih kokoh dan lebih dari itu, saya sudah menyiapkan sedikit bekal untuk menempuh perjalanan: harapan, rasa syukur, dan cinta.
Ekaaaaa, semangaaat terus yaaaa.. #peluukkkk
Eka, ga semua org beruntung dianugerahi cobaan sebanyak eka, hampir bersamaan pula. Salut bgt eka bisa melalui semuanya dgn selamat sampe akhirnya bisa bangkit lagi.
Tetep semangat ya ka, banyak yg sayang sama eka!
Mba ekaaaa…dr dulu gw yakin mba eka org yg diatas rata2..baik secara emosional maupun intelektual. Mba eka hebat!! Gw salut ama mba eka…semangat terus ya mbaaaa
Thanks Tante Eka. Such an inspiring story 😀
hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir : “Cukuplah Allah sebagai tempat diri bagi kami, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami.”
hai eka, apa kabar? semoga sabar menghadapi semua ujian hidup. semangat ya! sabar, syukur, tawakal 🙂
Mbak Ekaaaa…Tante bangga ,salut Mbak bisa melewati semuanya dengan Ending yang Manis…Selalu bersyukur dan berdoa, Tuhan pasti punya rencana yang indah buat Mbak Eka dan Masrul…selalu kompak,rukun dan bahagia sepanjang Hayat…Love Uuu..Terima Kasih Tuhan..di sisa usiaku aq dipertemukan dengan seorang putri yang tangguh dan menjadi bagian dalam hidupnya…semoga kami bisa saling berbagi dan saling support..To be continued ®®®
mbak eka …. semangat mb,,,,, senang bisa kenal mb eka waktu kerja dlu,, orang nya percaya diri dan bisa menginspirasi orang disekelilingnya,,,