Kamu tahu kalau Marilyn Monroe dan Diana, Princess of Wales meninggal di usia 36 tahun? Yang satu karena overdosis obat tidur, yang lain karena kecelakaan mobil. Dua-duanya tragis. Mereka hanya dua contoh paling terkenal dari jutaan, mungkin miliaran, manusia lain yang usianya berhenti pada hitungan ke-36. Lalu, berlebihankah kalau menurutku, masih hidup dan bernapas di usia 36 tahun, terlepas bagaimana pun kondisi kehidupan kita, sesungguhnya adalah anugerah yang luar biasa?
Kata sebuah artikel di The Atlantic, tulang terakhir manusia yang berhenti bertumbuh adalah tulang selangka, dan itu terjadi di sekitar usia 35 tahun. American Psychological Association mengategorikan usia 36 sebagai awal dari fase middle adulthood, alias paruh baya. Dalam berbagai survei, kategori dewasa muda berhenti di usia 35 tahun. Tiga puluh enam, meski tak didengungkan sesering usia 30 atau 40, ternyata adalah momentum yang lebih penting dari keduanya.
Tiga puluh enam tahun dan masih banyak–bahkan semakin banyak–yang belum kupelajari. Baik tentang diriku sendiri, maupun tentang hidup itu sendiri. Awalnya, aku merasa gagal dan tak berguna karena banyak hal tentang diriku sendiri baru saja kutemukan akhir-akhir ini, menjelang usia 40. Bukankah menjadi orang dewasa berarti sudah tahu tentang dirinya sendiri, sudah mengerti tentang kehidupan dan bagaimana menjalaninya, sudah stabil dan tak lagi berubah-ubah layaknya anak-anak atau remaja? Itu pemikiran yang kubawa sejak kecil.
Namun, kenyataan tak sesederhana itu. Setelah kupikir-pikir lagi, kuingat-ingat apa yang kubaca dari buku-buku, apa yang pernah kudiskusikan dengan psikoterapisku, juga hasil pengamatanku sendiri, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang dewasa yang belum mengenal dirinya sendiri. Mereka yang menjalani hidup seolah-olah sedang meniti tangga yang dibangun orang lain, memilih jalan hidup yang paling ramai karena takut sendirian, menyembunyikan jauh-jauh masalah hidup di pojok pikiran dan membiarkannya membusuk di sana, menyamarkan jati diri di balik topeng-topeng yang lebih dianggap pantas di mata orang lain. Sesungguhnya, banyak manusia yang bahkan belum menemukan jati dirinya saat menjelang lanjut usia, lalu mengapa harus berkecil hati kalau baru menemukan banyak hal tentang diri sendiri pada usia 36?
Nyatanya, memahami diri dan kehidupan adalah proses yang sinambung hingga ujung usia. Manusia berubah seiring bertambahnya waktu, dunia pun begitu. Apa-apa yang kita pikir telah kita pahami hari ini mungkin akan usang esok hari. Maka, simpulan yang utuh, yang sejati tentang kehidupan hanya bisa didapat pada embusan napas penghabisan. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini terhadap serpihan-serpihan pengetahuan hidup yang baru kudapat adalah mencatatnya. Sebagai pengingat bahwa sepelan apa pun kita berjalan, sedekat apa pun langkah yang kita ambil, semua itu tetap patut dirayakan.
1. Aku mengidap lipomatosis of nerve di kedua kakiku
Tahun ini diawali dengan operasi pada bagian belakang kaki kananku, tepat di bawah betis. Ada benjolan di sana, nyeri dan meradang. Benjolan yang sebenarnya pernah muncul pada 2016, menjelang kepindahanku dari Jakarta ke Bandung. Saat pertama kali muncul, sakitnya lebih parah dari tahun ini, hingga membuatku kesulitan berjalan. Munculnya pun di kedua kaki, dengan ukuran yang berbeda.
Setelah rontgen, USG, dan observasi pada 2016, dua dokter merekomendasikan untuk operasi. Tetapi, saat aku menjalani proses pemeriksaan dalam jalur BPJS, dokter ketiga tidak melihat adanya kebutuhan operasi dan malah memberikan obat antiradang. Toh, benjolan itu mengecil, jadi kupikir itu cuma reaksi tubuh terhadap stres belaka. Dan setelah itu pun aku mulai psikoterapi, jadi kupikir tak akan kambuh lagi.
Aku salah. Tanpa ada pertanda atau kejadian awal, tiba-tiba benjolan itu muncul kembali. Kali ini hanya di kaki kanan. Aku kembali dirujuk ke dokter bedah. Dokter yang satu ini bersikukuh bahwa operasi adalah jalan terbaik karena fakta bahwa benjolan ini muncul berulang. Dia bahkan membantu proses rujukan BPJS sehingga dalam minggu yang sama dengan observasi pertama itu, aku langsung menjalani operasi.
Hasil laboratorium dari gumpalan yang diangkat pada operasi itu berkesimpulan: lipomatosis of nerve, yakni lesi mirip tumor yang jinak, yang muncul akibat gangguan pada saraf tepi. Untuk saat ini, lesi di kaki kananku sudah terangkat bersih, meski tak ada jaminan tak muncul lagi. Sampai hari ini pun, bagian yang dioperasi masih kerap terasa sakit kalau kelelahan.
“Kalau yang di kiri ikut kambuh, Dok?” tanyaku pada si dokter.
“Langsung lapor saya, jangan tunggu parah. Kita eksekusi,” tukasnya tegas. Oke, baik.
2. Selama ini aku membangun konsep diri yang salah
Selama bertahun-tahun, berulang kali mengisi tes tipe kepribadian Myers-Briggs gratisan di internet, hasilnya selalu INFP. Ternyata, eh, ternyata… entah tes-tes gratis itu salah atau karena aku banyak berubah beberapa tahun terakhir, hasil tes di sebuah biro konsultasi SDM menunjukkan kalau aku ISTP. Tambahan lagi, pada tes profil DISC aku memperoleh hasil kepribadian Influence-Dominance.
Kedua hasil itu menyimpulkan kalau aku sosok yang punya otoritas diri yang kuat, suka tantangan, mampu berkomunikasi dengan baik, cepat menganalisis situasi dan mengambil keputusan, adaptif, walaupun sering impulsif. Lha, terus kenapa selama ini aku merasa kalau aku ini payah, nggak menonjol, nggak mampu, nggak akan mungkin mewujudkan hal-hal yang kuidamkan?
Memasuki akhir tahun ini, akhirnya aku kembali psikoterapi dengan Ibu Amanda, psikologku. Di salah satu sesi beliau bilang, “Ka, kamu itu terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan orang lain, memikirkan kamu akan diterima orang lain atau nggak. Padahal, kamu itu bisa [punya prestasi]. Coba bayangkan, kalau kamu nggak sibuk mikirin orang lain, mungkin [prestasi] kamu bisa jauh lebih besar dari ini.”
Ya, begitulah. Ternyata, selama ini aku mengumpulkan potongan-potongan pemikiran dari orang-orang di sekitarku, berpikir bahwa semua itu adalah kebenaran hidup, kemudian membangun konsep diri yang tak sesuai dengan jati diriku sendiri dari sana. Bahwa aku perempuan, dan perempuan tak perlu sekolah tinggi dan berkarier. Bahwa perempuan jangan terlalu pintar dan mandiri, nanti ditakuti laki-laki. Bahwa aku anak PNS, bukan anak orang kaya yang punya akses dan privilese, sehingga yang paling aman adalah kerja sebagai pegawai kantoran. Bahwa tujuan finansialku hanya bisa dicapai lewat kerja banting tulang. Bahwa kerja kreatif tidak akan menghasilkan uang. Padahal, selama perjalanan hidupku sendiri, aku sudah membuktikan bahwa semua itu tidak berlaku dalam kehidupanku.
3. Dalam garis keturunan perempuan di keluargaku, akulah si pemutus siklus
Eyang Putriku menjadi yatim piatu saat pendudukan Jepang, kemudian ia dipingpong dari satu kerabat ke kerabat yang lain. Di usia 18 tahun dia dinikahi Eyang Kakungku, seorang perwira TNI. Saat Eyang Putri 36 tahun berarti saat itu tahun 1972 dan anaknya sudah delapan orang, belum termasuk yang keguguran atau meninggal saat masih janin. Aku tak sempat tahu apakah itu hidup yang dicita-citakannya. Tak pernah bertanya apakah ia bahkan pernah, dan boleh, punya cita-cita.
Saat Mama 36 tahun, kala itu 1995. Apa yang bisa kuingat dari waktu itu? Aku kelas empat SD, adikku masih TK, dan kami tinggal di Bekasi. Papa, kalau tidak salah, sudah tinggal berjauhan dengan kami karena kewajiban dinas sebagai PNS. Mama bertahan di Bekasi, membesarkan dua orang anak sambil menjalani pernikahan jarak jauh, dengan keluarga dan orang tua yang juga jauh dari tempatnya tinggal. Menikahi laki-laki yang bukan Jawa membebaskan Mama dari standar sebagai istri Jawa yang dicontohkan Eyang Putri. Meski tetap saja, dia tidak diperbolehkan bekerja oleh Papa, padahal itu yang dia inginkan.
Lalu, ada aku; anak perempuan penerus mereka. Dua kali menikah, satu kali cerai. Mereka tak pernah bercerai, setidak bahagia apa pun pernikahan mereka. Aku dua kali mengandung dengan tiga orang anak, dan hanya satu yang bertahan hidup. Jika dibandingkan dengan teman-teman atau saudaraku yang lain, aku masih saja bertahan dengan gelar sarjana. Karierku biasa saja; bukan petinggi C-level, tak bertitel general manager atau founder atau head of something. Namun, jika dibandingkan dengan Mama dan Eyang Putri, akulah yang pertama berhasil menyelesaikan kuliah, mencapai gelar sarjana, berkarier, dan bersikeras mempertahankan pekerjaan sambil mengurus anak dan rumah tangga. Aku mengikuti panggilan hatiku: menulis dan melakukan pekerjaan lain yang berhubungan dengan aksara. Enam tahun terakhir aku berhasil menulis tujuh buku–meski sifatnya masih buku pesanan, bukan bukuku sendiri–menerjemahkan dua buku, dan menyunting banyak lainnya.
Lebih penting dari semua itu, beberapa tahun terakhir aku bertekad untuk menjadi pemutus siklus–the cycle breaker. Menjalani proses terapi dengan sadar dan meneguhkan diri untuk mengakhiri pola-pola relasi tak sehat yang secara turun-temurun terduplikasi dalam keluargaku. Sungguh perjalanan panjang yang tak kunjung terlihat akhirnya. Ada hari-hari di mana aku merasa begitu berdaya, begitu bersyukur dengan apa yang kuperjuangkan dan kucapai. Di hari lain, tak jarang aku merasa sia-sia, kembali dalam pola yang begitu-begitu saja, merasa gagal dan tak berguna.
Toh, aku masih di sini. Masih mencoba. Masih berkeyakinan bahwa aku bisa memutus siklus itu. Semakin bertambah hari yang kujalani dalam proses ini, semakin aku yakin bahwa ini adalah proses panjang, proses seumur hidup yang bisa jadi hasilnya tak sempat kulihat saat masih ada di dunia. Itu tak lagi jadi masalah buatku.
4. Sudah waktunya membangun panggungku sendiri
Percakapan utara selatan dengan Lia, temanku, membawaku pada kesimpulan ini. Lia bilang, anak sulung (kami sama-sama anak sulung) sesungguhnya dibangunkan panggung oleh orang tua kami. Namun, panggung itu biasanya berbentuk tanggung jawab. Mengambil tanggung jawab itu, meski berat dan kerap tak masuk akal, sesungguhnya adalah cara kita untuk tampil di panggung, lanjutnya.
Selama ini panggungku adalah berdaya secara finansial. Dengan berdaya secara finansial, aku memamerkan kebisaanku. Membuktikan prestasi dengan barang-barang yang tak kuperlukan dan tak kuinginkan, memikul tanggung jawab melebihi kemampuanku, membeli kendali dan kuasa atas orang-orang di sekitarku.
Lucunya, panggung itu bukan panggung yang kubangun sendiri, bahkan bukan panggung yang kuinginkan. Itu panggung ayahku, yang tanpa sadar dia bangun dan wariskan untukku, dan aku iya-iya saja menaikinya. Aku tak ingin berakhir seperti ayahku. Aku tetap butuh panggung; semua orang butuh panggung, dan itu sah-sah saja. Jadi, akan kubangun panggungku sendiri, yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan tujuan hidupku.
5. Hubunganku dengan uang didasari rasa takut
Selama ini aku mentas di tengah panggung yang dibuat ayahku–bekerja ganda, menghasilkan uang yang cukup untuk menangani pengeluaran rumah tangga, mengirimi orang tua, membantu pembayaran utang adikku, hingga yang menjadi pencapaian tertinggiku, memasukkan anakku ke sebuah TK swasta di tengah kota Bandung dengan uang pangkal belasan juta. Sesuatu yang tak dilakukan orang tuaku, juga orang tua suamiku. Kami adalah produk TK murah dekat rumah. Tapi, semua itu harus kutebus dengan malam-malam tanpa tidur, operasi di kaki kananku, dan kesehatan mental yang kurasa menurun sepanjang tahun ini.
Sampai aku tersadar bahwa semua itu, pola yang diwariskan orang tuaku itu, didorong sesuatu yang sungguh tak sehat: takut kekurangan. Morgan Housel dalam Psychology of Money menuliskan,
“The hardest financial skill is getting the goalpost to stop moving…it gets dangerous when the taste of having more–more money, more power, more prestige–increases ambition faster than satisfaction….you feel as if you’re falling behind, and the only way to catch up is to take greater and greater amounts of risk.”
Aku tertegun membacanya. Tepat seperti yang ditulis Housel, setelah semua yang kucapai, yang kurasa bukannya syukur atau cukup, tapi malah semakin kurang. Yang ini belum ada, yang itu belum punya, selanjutnya harus beli ini, bayar itu. Dan, untuk mengejar semua itu, aku mengambil risiko terbesar: mengorbankan kesehatanku sendiri, mengorbankan tubuh dan hidupku. Ini sudah begitu mendesak hingga aku pun mengambil langkah yang tampak menyalahi logika: berhenti dari pekerjaanku sebagai pengelola ruang seni, yang selama hampir tiga tahun terakhir menyumbangkan penghasilan tetap. Memang sudah saatnya memutus pola itu.
6. Selama ini aku terlalu berfokus pada cara, alih-alih tujuan
Kesadaran akan pola hubunganku dengan uang membawaku pada kesadaran selanjutnya, bahwa uang sekadar alat. Memiliki banyak uang sekadar cara untuk mewujudkan keinginan dan impian. Salah satu cara, bukan satu-satunya. Tetapi, aku malah begitu terfokus pada uang, pada kurangnya, pada keinginan akan keberlimpahannya, sampai aku melupakan tujuan-tujuan utamaku. Misalnya, salah satu hal yang kuidamkan adalah lanjut studi pascasarjana. Semua tahu, butuh uang untuk melakukannya. Tapi, sebenarnya tidak harus dari uang milik sendiri, kan? Bisa saja, dibiayai oleh beasiswa atau hibah. Atau, yang paling ekstrem, dapat hadiah tak terduga yang bisa digunakan untuk sekolah.
Begitu juga dengan jejaring, pengakuan orang lain, dan hal-hal duniawi lainnya. Banyak jalan menuju Roma. Dengan terlalu memfokuskan diri pada cara, pada satu jenis cara, aku membatasi diri dari kemungkinan-kemungkinan yang lain. Aku membatasi diri dari sentuhan dan mukjizat Tuhan. Kalau saja aku memfokuskan diri pada tujuan, dan membiarkan Tuhan yang mengatur caranya, aku akan mengizinkan hidupku diisi oleh cara-cara yang tak terduga, yang mungkin di luar nalar, yang juga pernah terjadi sebelumnya dalam hidupku. Ini juga yang kemudian membawaku pada kesadaran lain, bahwa aku perlu memperbaiki hubunganku dengan Tuhan.
7. Aku tak tahu cara istirahat; yang kutahu hanya lanjut atau berhenti sama sekali
Sama halnya dengan uang, hubunganku dengan pengakuan yang dibangun dari rasa takut dan tidak aman membuatku terus sibuk, terus bergerak, tanpa tahu cara istirahat. Aku membaca-baca lagi tulisan lamaku dan menemukan satu tulisan di Instagram tentang jeda. Tulisan dari lima tahun lalu, dan masih saja terjadi saat ini; aku seperti tikus yang terus berlari dalam roda, tak tahu caranya mengambil jeda.
Dalam pikiranku, istirahat artinya berhenti sama sekali, tanpa ada kesempatan untuk melanjutkan apa yang telah kulakukan. Jadi, aku tak mau turun dari roda, kecuali aku sudah siap kalau-kalau aku memang tak bisa melanjutkan berlari. Padahal, rehat karena hamil pada 2019 telah membuktikan sebaliknya. Aku bisa mengambil jeda, dan mendapat kesempatan baru setelahnya. Juga, saat aku memutuskan untuk tidak datang wawancara Kompas Gramedia karena akan liburan di Bali pada 2014. Toh, setelah itu aku malah mendapat kesempatan tes di anak perusahaan, malah diterima di sana, dan memulai perjalanan yang kutempuh sekarang.
Maka, tahun depan aku memutuskan akan mengambil jeda. Memang terlihat seperti berhenti, tapi aku melakukannya dengan niat yang utuh untuk istirahat, menunggu waktu yang tepat untuk memulai kembali.
8. Berubah pikiran adalah bagian dari pendewasaan
Beberapa tahun lalu, aku yang sedang membangun kembali hidup setelah bercerai menuliskan tujuan hidupku pada secarik kertas, “I want to be resourceful.” Naif sekali, bukan?
Sekarang aku menyesali kata-kata itu dan ingin sepenuh hati mengubahnya. Ternyata, menjadi resourceful itu melelahkan. Mengambil panggung tanggung jawab untuk tampil padahal tubuh sudah lelah. It’s a thankless job and turns out I don’t enjoy it. Boleh dong, berubah pikiran. Maka, mulai tahun ini kucoret kata-kata itu dari tujuan hidupku. Untuk saat ini, yang ingin kuwujudkan dalam hidup adalah menjalani hidup yang aman, tenang, penuh rasa ikhlas dan syukur. Tahun depan, siapa yang tahu akan jadi apa tujuan itu.
Tempora mutantur et nos mutamur in illis. Seiring dengan berubahnya waktu, manusia di dalamnya pun berubah. Dulu aku menganggap mengubah pikiran berarti plin-plan, tidak konsisten, tidak dapat diandalkan. Padahal, bertambahnya usia, bertambahnya pengalaman tentu akan mengubah sudut pandang kita. Ilmu pengetahuan pun berubah dari tahun ke tahun sejalan dengan penemuan-penemuan baru dan perkembangan pola pikir manusia. Namun, melakukannya jadi sulit karena butuh hati yang demikian besar untuk mengakui bahwa kita yang dulu begitu naif. Bahwa kita pernah luput, pernah berpikir sempit dan pendek, bahwa yang dulu cocok untuk kita tak lagi relevan. Perubahan memang tak pernah nyaman.
9. Akhirnya, aku mengerti ungkapan, “Minder hanyalah bentuk lain dari kesombongan.”
Cekcok dengan rekan kerjaku membuatku menyadari satu kalimat dari 2013, diucapkan oleh seseorang di tempat pelatihan guru bagi anak berkebutuhan khusus yang hampir saja kuikuti dulu. Ia bilang, “Minder hanyalah bentuk lain dari kesombongan.”
Bertahun-tahun berlalu tanpa aku tahu apa maksudnya. Lama pula kalimat itu tak muncul di kepalaku. Sampai aku tiba di peristiwa cekcok itu. Aku pun akhirnya melihat bahwa minder dan sombong sejatinya berada dalam satu garis spektrum, sombong pada ujung yang satu dan minder pada ujung lainnya. Keduanya sama-sama merasa “paling”; yang satu merasa paling baik dan yang lain merasa paling buruk. Keduanya menuntut, menarik perhatian dari orang-orang lain, dan membangun panggungnya sendiri.
10. Merangkul identitas sebagai medioker mengenalkanku pada konsep “cukup”
Tak perlu menjadi “yang paling” untuk menjalani hidup dengan sehat mental dan penuh syukur. Menjadi manusia yang biasa-biasa saja, tidak terlalu rendah, tidak terlalu tinggi, malah membuat aku mensyukuri banyak hal. Dengan merangkul identitas sebagai si medioker, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mengenal konsep “cukup”. Aku berhenti mengejar patok pencapaian yang terus mundur selangkah demi selangkah setiap kali aku mencapai sesuatu. Tidak pula berkubang dalam perasaan mengutuk diri sendiri karena belum mencapai ini dan itu.
Aku menikmati anonimitasku, yang malah membuatku lebih leluasa bergerak, mencoba hal-hal baru. Aku menjadi sadar bahwa aku sudah punya berbagai hal dalam hidup; pasangan, anak, teman, keluarga, pekerjaan, pencapaian, tempat tinggal, harta benda, waktu. Hidupku sudah lengkap, tanpa perlu porsi banyak.
11. Manusia tidak punya kelebihan maupun kekurangan
Semakin banyak berinteraksi dengan orang, semakin dalam juga perjalanan terapi yang kulakukan, semakin aku menyadari sebegitu kompleksnya manusia. Dikotomi hitam dan putih, seperti yang baik dan buruk, yang suci dan nista, yang lebih dan kurang, tidak semudah itu diterapkan pada dunia nyata. Akhirnya, semua bermuara pada kenyataan bahwa tiap manusia yang kita temui sedang menempuh perjalanannya masing-masing, membawa bebannya masing-masing, dan berjuang dalam pergulatannya masing-masing.
Maka, tak ada kebaikan, tak ada keburukan, tak ada kelebihan, tak ada kekurangan. Apa yang kita temui adalah sifat yang layaknya dua sisi mata uang. Jika seseorang tampak suka berkomentar tentang orang lain, memberi saran dan nasihat tanpa diminta, biasanya orang itu pula yang pertama mendekati kita, menanyakan kabar kita saat kita terlihat sedih dan kesusahan. Jika seseorang tampak begitu jeli dalam bekerja, dengan kualitas yang tak ada bandingannya, maka jangan harap bisa cepat mengerjakan sesuatu. Kabar baiknya, jika kamu kesulitan mencari kelebihanmu, maka lihat saja kekuranganmu. Sesungguhnya, hal itu pulalah kelebihanmu, hanya kamu perlu melihatnya dari sisi yang berbeda.
12. Satu-satunya yang perlu dimaafkan agar bisa berdamai dengan hidup adalah diri sendiri
Satu hal yang masih perlu banyak kulatih adalah memaafkan; memaafkan orang lain, tetapi terutama memaafkan diri sendiri. Ini kudapat di tengah menyunting naskah terjemahan The Choice karya Dr. Edith Eva Eger. Anyway, buku itu sungguh luar biasa!
Dalam buku itu Dr. Eger menuturkan pengalamannya sendiri (juga pengalaman pasien-pasiennya) untuk melepaskan diri dari mentalitas sebagai korban. Dan itu, ternyata dicapai dengan memaafkan diri sendiri. Bayangkan, Dr. Eger, seorang penyintas Holokaus yang, lolos dari kamp konsentrasi di Auschwitz dan menghabiskan berpuluh tahun membangun kembali hidupnya. Ia kembali ke Auschwitz, berupaya memaafkan Hitler dan Nazi, tetapi ternyata bukan itu kunci kebebasannya. Dia pun mendapati kemudian bahwa kuncinya begitu sederhana, namun begitu sulit dilakukan: memaafkan dirinya sendiri. Aku mencoba versi kecilnya, mengatasi rasa tidak nyaman setelah cekcok dengan rekan kerjaku, memaafkan diri sendiri atas keputusanku yang membawa diriku ke situasi itu, dan berhasil!
Masalahnya, bukan itu saja pe-erku. Pe-er terbesarku berkaitan dengan relasiku terhadap Papa. Di depan mataku ada perjalanan yang masih panjang untuk bisa memaafkan diriku yang belum bisa berhenti menyalahkan dan marah kepada Papa.
13. We are where we should be
Terakhir adalah alasan kenapa daftar ini tidak kuberi judul “13 Hal yang Seandainya Saja Sudah Kutahu Sebelum Usiaku 30”. Semua ini memang sudah sepatutnya baru kupahami sekarang. Semua yang terjadi selama 36 tahun terakhir memang sudah seharusnya terjadi. Kebetulan itu tidak ada dan semua yang sudah terjadi adalah sejatinya kebenaran. We are where we should be. No need to regret, no need to worry.